Showing posts with label Perjalanan. Show all posts
Showing posts with label Perjalanan. Show all posts

23/02/2020

Selamat Malam, Jakarta

Aku tak pernah tahu, sejak kapan bahagia bisa membasahi mata yang mengawang, mengingat sepuluh tahun yang lalu, masa ketika aku berdiam diri dengan mata yang sama mengawang. Mengingat, kalimat-kalimat yang tak pernah terucap. Lalu, tenggelam.

***
Peron yang tak ramai dan manusia-manusia yang sibuk menunggu. Aku berdiri di peron 4. Kereta arah Bekasi tak kunjung datang dengan tepat. Riuh. Manusia-manusia yang sibuk, berkata-kata, sambil sesekali memainkan jempol pada layar gawai seraya menggerak-gerakkan mata. Aku bosan mengamati pergerakan manusia-manusia yang tak terkira jumlahnya. Mataku panas, perih, namun bukan sebab sedih. Aku hanya lelah menyaksikan semua ini. Yang tua-tua sendiri, berjalan cepat takut tertinggal kereta di peron yang berbeda. Yang muda-muda berlari, sambil sesekali melihat jam tangan seolah takut hilang terlepas. Sementara aku, terus menunggu kereta yang tak kunjung datang melandas. Aku kembali terdiam, sambil sesekali berpikir, pintu keluar Stasiun Klender Baru ada di sebelah mana? Maklum, ingatanku cukup pendek untuk memahami jalan. Tapi, aku tak pernah bosan untuk berjalan. Bagiku, berjalan-jalan adalah kesempatan terbaik dalam hidup untuk menyentuh sekitar.

Dua puluh menit kemudian, aku turun di Stasiun Klender Baru. Baru saja ingin bertanya kepada Dika lewat pesan singkat, ia malah memanggilku dari seberang sana, "Siti!" aku berpikir lagi, oh, keluarnya di sebelah sana. Sewaspada itu aku mencari petunjuk jalan yang benar, nyatanya Tuhan dan semesta selalu memberi bala bantuan. Kali ini melalui kedatangan Dika yang jauh lebih cepat dari perkiraan. 

Sekalipun aku benci pada konsep body shaming, tapi bagiku sangat menyenangkan berkata jujur dan apa adanya kepada teman baikku yang satu ini. "Gendut banget sih lo!" sambil tertawa-tawa bahagia, kami pun menikmati hari yang cerah, setelah seharian penuh dikunjungi hujan yang gelisah.

***
Hal kedua yang kusyukuri hari ini adalah Dika menungguku dengan motor matic-nya dan bukan motor laki-nya. Sungguh, motor saja bisa ditempeli atribut seksis sesuka hati, sebab manusia memang gemar memainkan kosakata. Lantas, aku juga ikut-ikutan memainkannya pula. Sialan.

***
Jakarta lengang di bagian Timur, Dika pun segera tarik gas menuju Pondok Gede, rumah sahabat kami yang bernama Dinda. Lama tak jumpa dengan Dika, lebih dari satu tahun lamanya, membuatku senang menghabiskan waktu dengannya kali ini. Tanpa pikir panjang, aku berpegangan pada jaketnya yang bisa membuatku merasakan perutnya yang membesar. Aku memang tak mudah merasa nyaman kepada siapapun. Atau, memang tak pernah ingin. Kecuali kepada manusia-manusia yang aku percaya. Dika salah satunya.

Sesampainya di rumah Dinda, kebahagiaan itu bertambah lagi. Seperti tak ingin mengakhiri hari. Seperti ingin seterusnya begini. Terlebih, sudah lebih dari satu tahun lamanya pula kami tidak berjumpa dengan Dinda. Segalanya diceritakan. Kata-kata menjadi pengikat untuk kami saling memahami. Aku selalu senang memperhatikan wajah-wajah dan ekspresi teman-temanku kala bercerita. Dinda yang menceritakan pernikahannya, Dika yang bisanya cuma menimpali tanpa banyak bercerita. Kami memang sangat berbeda dalam kepribadian, tapi ada satu hal yang membuat kami selalu kompak ketika bersua. Bahagia.

Sore pun tiba. Sudah saatnya pulang dan membiarkan Dinda kembali menjalani hari-harinya yang barangkali memang membosankan. Hanya saja, Dinda selalu tertawa, ia hampir selalu terlihat penuh syukur atas keadaannya. Sekalipun keluh disampaikannya dengan bahasa tawa. Berbeda dengan Dika yang datar dan hampir selalu begitu-begitu saja. Apalagi aku, yang senang mengeluh, terlalu banyak berpikir, dan tak segan mengomentari dengan kata-kata pedasku.

Tapi, aku tahu, Dinda dan Dika tak pernah marah sekalipun kesal dengan kata-kata dan keegoisanku.

***
Berpisah dengan Dinda, lantas aku dan Dika menghabiskan malam dengan minum kopi berdua saja. Membicarakan kehidupan yang penuh kejutan, makan mie ayam yang rasanya biasa saja, serta menikmati jalanan malam yang membosankan tapi selalu berhasil membuatku senang dan tenang. Entah, mengapa aku sebegitu senangnya menikmati malam Jakarta. Kemacetan tak lantas membuatku murung dan pundung. Terlebih udara, yang bisa aku rasakan sentuhannya sembari memejam mata.

Aku sangat berterima kasih kepada si gendut yang selalu baik. Juga kepada Dinda yang memberiku pengetahuan baru tentang cinta (dalam pesan singkat rahasia kami, tentunya). 

Selama perjalanan pulang, aku berbicara banyak kata-kata acak kepada Dika. Aku memang hanya ingin mengeluarkan apa yang ingin kubebaskan. Aku tak peduli apakah Dika mendengar, menimpali, atau kata-kataku sekadar mengambang di udara. Tanpa terasa, seperti ada yang membasahi mata. Melihat jalanan Jakarta yang memancarkan cahaya lampu temaramnya. Melihat bapak dan ibu yang terus bekerja dengan segala keterbatasannya. Melihat pasar malam dari kejauhan dengan hiruk pikuk yang memberi kesan bernyawa. Tanganku pun tak kubiarkan lepas dari jaket Dika yang kerap sabar.

Aku menikmati saat ini dengan perpaduan rasa dan karsa yang apa adanya. Jakarta, sebentar lagi, aku akan meninggalkanmu. Aku menggumam dalam hati. Oke, berlebihan. Aku tahu. Mari tinggalkan.

Tapi, itulah rasaku malam ini. 

Satu temanku pergi, dua temanku kembali. Dan aku akan meninggalkan mereka dalam waktu yang entah sampai kapan. Lalu, aku teringat Bayu. Yang menungguku dari balik pesan singkat yang tak kubuka sejak duduk manis di atas motor Dika. Tenang, tak ada perselingkuhan di antara kami. Sebab, kami hanya ingin menikmati saat ini. Sebuah waktu yang memang tak mungkin bisa diulang seperti kaset dan mp3. Sebuah waktu yang terekam dan akan kami putar di otak ketika merasa sesak dengan rutinitas esok hari.

Sampai di rumah, hujan pun mengguyur lagi. Untungnya, genting sudah diperbaiki. Tidur pun bisa nyenyak kembali.

Terima kasih, Dika dan Dinda! Sampai bertemu di Dufan entah kapan.

Jadi, kenapa menjadi D dan D di D, ya? Ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Selamat tidur! Selamat malam, Jakarta! Esok pagi kita kan berjumpa pula!


Kemang,
23 Februari 2020

23/11/2019

Merekam Jakarta

Aku melihat malam yang gemerlap akan bintang-bintang yang sesungguhnya redup, 
bintang itu tidak menjadi terang karena fusi yang alami, tetapi sebab tenaga listrik,
ia hidup dengan sentuhan tangan manusia. 
Manusia-manusia yang lelah.

Aku menelusuri lorong waktu yang sebenarnya tak berdetak detik yang berjalan,
lorong itu gelap, berusia tua, dan hampir punah
tapi sorot lampu dari ribuan kendaraan yang lalu lalang seakan tak henti tak ingin berhenti.
Mesin mereka bekerja dari pagi sampai malam
seperti manusia-manusia yang lembur meski badan sudah tersungkur
tidur kurang teratur,
sebab permintaan yang tak terukur dan asal melantur,
barangkali.

Aku menikmati keriuhan jalan Jakarta yang tak pernah padam,
Jakarta menanggung beban berat, katanya.
Akan tetapi, Jakarta itu menyebalkan yang dicintai.

Aku mengedipkan mata berkali-kali,
bukan sebab genit pada lelaki yang bahunya pun terlalu jauh untuk ditepuk,
tapi sebab keheningan yang selalu kurasakan ketika mengamati Jakarta yang ramai,
yang tak pernah tidur, yang terlalu malas untuk bermalas-malasan, 
Jakarta yang senyap tapi dipaksa gaduh
Jakarta yang dikutuk tapi selalu dicari
Jakarta yang istimewa tapi akan segera dilupa

Sedangkan di lubang telinga,
aku mendengarkan suara Rara dan Ananda yang merdu
menyanyikan satu bait yang amat kusuka,
yang mereka ambil dari satu karya puisi Chairil yang kugemari;

"Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah."


Kemang,
November 2019

*Tentang: Banda Neira - Derai-derai Cemara (1949) Musikalisasi Puisi Chairil Anwar

21/09/2017

Pertemuan



............................................................................................  bahagia. :)

15/03/2016

Bertemu Biru di Pantai Popoh, Tulungagung, Jawa Timur

Bermain di Pesisir Samudra Hindia, Pantai Popoh, Tulungagung, Jawa Timur

Merasakan dinginnya air bercampur sentuhan kasar pasir pantai di telapak kaki, merupakan hiburan sekaligus obat penenang yang cukup ampuh setelah berbulan-bulan beraktivitas di ibu kota. Udara sejuk yang juga ditawarkan Pantai Popoh, pesisir Samudra Hindia yang terletak di sebelah selatan Kota Tulungagung, Jawa Timur, menjadi pelengkap sekaligus vitamin alaminya.

Berkunjung ke Tulungagung, Jawa Timur, belum lengkap rasanya jika tidak mampir terlebih dulu ke Pantai Popoh. Belok ke selatan sekitar 30 kilometer dari Kota Tulungagung, kamu akan menemukan hamparan panorama Pegunungan Kidul dengan teluk biru di ujung timurnya. Berbatasan langsung dengan air laut di Samudra Hindia, menjadikan pemandangan di Pantai Popoh semakin terasa eksotis.

Tidak seperti dulu, kini jalanan yang dilewati untuk menuju Pantai Popoh sudah beraspal. Hanya tinggal sedikit saja batu-batu kasar yang tiba-tiba muncul, dan menyebabkan lonjakan serta kejutan pada transportasi roda dua atau empat kamu.

Setibanya di bibir pantai, kamu akan merasakan deburan ombak yang berlarian dan berkejaran. Mereka kemudian seolah menari, mengikuti alunan deru angin yang tidak terlalu memukul, bahkan terasa sejuk dan tidak membuat mata pedih atau rambut berantakan. Angin dan ombak seakan bekerja sama mengajak kakimu untuk bergabung dan bermain bersama.

Kamu juga akan menemukan banyak perahu kayu nelayan yang sedang berlabuh, atau hanya sekadar parkir di tubuh pantai. Sesekali kamu juga akan menemukan para nelayan yang baru saja pulang dari melaut. Penduduk asli sana juga sangat ramah dan bersahabat. Siap-siap disapa dan diajak mengobrol dengan bapak nelayan yang baru saja memarkirkan perahunya, ya.

Waktu terbaik untuk menikmati pantai ini adalah di hari kerja (ayolah, membolos sejenak dari rutinitas kerja yang itu-itu saja). Karena, biasanya kawasan wisata bahari di Pantai Popoh ini akan semakin ramai pengunjung di hari libur dan hari besar nasional. Tak ada salahnya, kan, membolos barang tiga hari untuk menuju dan menikmati keindahan alam Pantai Popoh, guna menenangkan kesemrawutan pikiran dan batin kamu. Bentangan alamnya akan menemani kesendirianmu, kalau kamu sengaja berlibur seorang diri dan menikmati sentuhan alam sendirian. Sore hari adalah waktu yang tepat menikmati kecupan ombak dan angin yang saling bermesra.

Oh iya, jika kamu tiba-tiba merasa haus atau lapar, jangan khawatir, ada banyak warung makanan di sekitar pantai yang siap melayani kebutuhan perutmu. Ada juga toko souvenir, cendera mata dari batu Onyx (marmer) yang selalu menjadi andalan Kota Tulungagung, toko baju kalau kamu butuh berganti pakaian yang basah, pendopo untuk istirahat sejenak dari terik matahari, bahkan tak jarang terlihat ibu-ibu yang menjual ikan asap asli Tulungagung yang sangat khas rasanya.

Selamat membolos! 

*sumber jarak tempuh: www.eastjava.com

11/02/2016

Harap Reinkarnasi Menjadi Orangutan-Lindungi Orangutan

*foto: Ibu Orangutan dan anaknya di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan

Jika suatu saat aku ditanya, ingin menjadi apa di masa yang akan datang? At least, di masa setelah aku mati dan kemudian hidup kembali alias bereinkarnasi (hehehe), aku ingin menjawab menjadi seekor orangutan.

Kenapa orangutan? Karena, berdasarkan informasi yang aku dapat dari artikel di media sosial, orangutan adalah spesies kera besar (bukan monyet) yang berfungsi sebagai pemelihara hutan. Ia meregenerasi hutan dengan cara membuang biji tumbuhan yang ia makan, dan menyebarkannya di tanah hutan. Lalu, tumbuhlah pohon-pohon yang dapat memenuhi kebutuhan hutan dan berbagai macam spesies hewan yang tinggal dalam hutan. Tidak hanya hutan dan hewan, bahkan kebutuhan manusia pun juga terpenuhi. Satu aksi orangutan, banyak hasil yang bisa dimanfaatkan.


Orangutan merupakan saudara dari simpanse dan gorilla, yang berada dalam spesies kera besar. Orangutan hanya hidup dan tinggal di hutan Kalimantan dan Sumatera, Indonesia. Orangutan Kalimantan bernama latin Pongo Pygmaeus, sedangkan orangutan Sumatera bernama latin Pongo Abelii. Orangutan masuk dalam ordo Primata, dan famili Hominidae. Ia hidup menyendiri atau soliter, sehingga tidak tinggal secara berkelompok.

Orangutan gemar sekali memakan kulit pohon, buah-buahan hutan, dan beberapa jenis serangga. Tak jarang, ketika ia memakan buah, biji buah tersebut ia buang secara sembarang di atas tanah hutan. Kemudian, tumbuhlah benih-benih pohon yang kelak menjadi pohon-pohon besar, yang berfungsi sebagai tempat tinggal berbagai macam spesies hewan. Hewan-hewan tersebut tidak hanya tinggal, namun ada juga yang sekadar singgah, atau bermalam. Hebatnya, atas kelakuan orangutan itu, pohon-pohon besar yang kelak dihasilkannya, juga menjadi penyumbang terbesar oksigen bagi manusia dan makhuk Tuhan lainnya yang membutuhkan.

Nah, secara filosofis, manfaat orangutan bagi manusia itu banyak sekali. Beberapa di antaranya, manusia bisa berkaca dari tingkah laku orangutan, yang memiliki DNA sekitar 97% hampir sama dengan manusia. Dengan begitu, manusia seharusnya tidak bersifat sombong, karena tingkah lakunya pun yang terkadang mirip hewan. Manusia seharusnya bisa menghargai setiap makhluk hidup, terutama hewan dan tumbuhan. Tidak selayaknya mereka memusnahkan sesama makhluk hidup. Seharusnya manusia sadar, mereka sama dengan dirinya sendiri, yaitu makhluk yang hidup. Bukan benda yang mati. 


Sayangnya, atas kesalahpahaman beberapa masyarakat yang menganggap orangutan sebagai ancaman, banyak sekali terjadi perburuan liar atas orangutan. Tidak hanya dianggap sebagai ancaman yang harus dimusnahkan, tengkorak orangutan juga dimanfaatkan sebagai cinderamata dan kerajinan tangan. Dagingnya pun juga dimakan. Para pemburu terlebih dahulu membunuh induk orangutan, kemudian menangkap anaknya, lalu menjualnya kepada pihak yang tidak bertanggung jawab. Hingga akhirnya populasi orangutan menjadi langka dan terancam punah.

WWF Indonesia dalam websitenya mengabarkan, bahwa populasi orangutan Kalimantan menurun hingga 55% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Menyisakan sekitar 57.000 individu orangutan di Kalimantan, dan sekitar 7.500 individu orangutan di Sumatera. Semakin miris ketika aku mengetahui bahwa status populasi orangutan Sumatera sudah mencapai tingkat "sangat terancam punah". Belum lagi jika ingat tragedi asap Riau atas kebakaran hutan pada September 2015 lalu, yang mencapai status keadaan darurat, dan sangat mengancam habitat orangutan Sumatera. Disusul kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan, yang makin mengancam habitat asli orangutan Kalimantan.


Selain perburuan liar dan kebakaran hutan, penyebab lain punahnya orangutan adalah alih fungsinya hutan menjadi lahan kebun kelapa sawit, yang hasilnya, yaitu minyak goreng yang masih sering kita konsumsi sehari-hari, bahkan menjadi salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan manusia. Juga perubahan iklim yang tak menentu, yang mengakibatkan habitat orangutan menjadi kurang nyaman.

Sebaiknya, manusia menyadari, bahwa kehadiran orangutan di hutan Kalimantan dan Sumatera juga dapat mengobati rasa rindu manusia akan rumah. Paling tidak bagiku. Meski belum pernah sekalipun aku mengunjungi habitat asli mereka di hutan Kalimantan dan Sumatera, melalui tempat tinggal mereka di kebun binatang Ragunan Jakarta, terbukti mengobati rasa rindu dan bersyukurnya aku menjadi manusia. Manusia yang seutuhnya manusia, tanpa ditempeli label apapun. Orangutan yang tampak cerdas. Orangutan yang matanya berisi variasi emosi yang siap membuatku jatuh hati, ketika pertama kali melihatnya secara langsung di Ragunan. Sayangnya, getaran "merasa dikurung" bisa aku rasakan ketika melihat orangutan yang ada di kebun binatang. Karena aku yakin, orangutan akan lebih bebas dan bahagia jika tetap tinggal di habitat aslinya. Di hutan Kalimantan dan Sumatera.

Seperti manusia yang selalu ingin dapat bebas berekspresi, aku yakin, orangutan pun juga sama seperti itu. 

Doaku hari ini: Semoga aku bisa lekas menjenguk saudaraku, orangutan, di hutan Kalimantan dan Sumatera. Amin.

Save orangutan, save yourself!

*sumber: WWF Indonesia, manfaat.co.id