Aku melihat malam yang gemerlap akan bintang-bintang yang sesungguhnya redup,
bintang itu tidak menjadi terang karena fusi yang alami, tetapi sebab tenaga listrik,
ia hidup dengan sentuhan tangan manusia.
Manusia-manusia yang lelah.
Aku menelusuri lorong waktu yang sebenarnya tak berdetak detik yang berjalan,
lorong itu gelap, berusia tua, dan hampir punah
tapi sorot lampu dari ribuan kendaraan yang lalu lalang seakan tak henti tak ingin berhenti.
Mesin mereka bekerja dari pagi sampai malam
seperti manusia-manusia yang lembur meski badan sudah tersungkur
tidur kurang teratur,
sebab permintaan yang tak terukur dan asal melantur,
barangkali.
barangkali.
Aku menikmati keriuhan jalan Jakarta yang tak pernah padam,
Jakarta menanggung beban berat, katanya.
Akan tetapi, Jakarta itu menyebalkan yang dicintai.
Aku mengedipkan mata berkali-kali,
bukan sebab genit pada lelaki yang bahunya pun terlalu jauh untuk ditepuk,
tapi sebab keheningan yang selalu kurasakan ketika mengamati Jakarta yang ramai,
yang tak pernah tidur, yang terlalu malas untuk bermalas-malasan,
Jakarta yang senyap tapi dipaksa gaduh
Jakarta yang dikutuk tapi selalu dicari
Jakarta yang istimewa tapi akan segera dilupa
Sedangkan di lubang telinga,
aku mendengarkan suara Rara dan Ananda yang merdu
menyanyikan satu bait yang amat kusuka,
yang mereka ambil dari satu karya puisi Chairil yang kugemari;
"Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah."
Kemang,
November 2019
*Tentang: Banda Neira - Derai-derai Cemara (1949) Musikalisasi Puisi Chairil Anwar
No comments:
Post a Comment