Bagiku saat ini, terlalu banyak muslim yang berubah menjadi penebar
kebencian yang berisik. Sehingga muslim yang damai dan 'waras' jadi
nggak kelihatan. Maka, timbullah seolah-olah semua muslim senang
berteriak-teriak menentang perbedaan. Padahal, pada dasarnya nggak
begitu. Islam dekat dengan ilmu pengetahuan. Islam sanggup menerima
perbedaan. Sayangnya, keindahan itu kini sedikit terlihat.
Muslim Sejati, Islam KTP? Zzzzz....
Aku dilahirkan dari perut seorang perempuan muslim Jawa atas kerja samanya dengan seorang lelaki yang menikahinya di usia 23 tahun. Ayahku seorang muslim Jawa yang tidak taat. Berbeda dengan ibuku yang jarang lupa solat lima waktu dan membaca Quran setiap maghrib. Kakakku laki-laki, dulunya ia rajin solat sama seperti ibuku, namun kini sangat jarang aku melihatnya beribadah solat, apalagi mengaji. Hidup di tengah keluarga yang memandang ibadah dengan cara yang berbeda menjadikanku pribadi yang mau belajar menerima segala bentuk perbedaan dan pemaafan.
Pandangan ibuku terhadap ibadah adalah, jika kamu muslim, ya kamu harus solat lima waktu. Namun ayah mengelak. Baginya, buat apa solat jika melakukannya karena terpaksa dan bukan karena ingin? Mungkin, ayahku memang tidak ingin. Atau belum, entahlah. Namun ia tetap percaya Tuhan itu ada. Ia juga kerap mengucap hamdalah sebagai rasa syukur dan selalu menyebut nama Tuhannya tatkala berkegiatan. Ia tetap mengaku seorang muslim karena ia percaya kepada Tuhannya meskipun ia tak pernah melaksanakan solat. Apakah itu salah? Apakah pendapat seorang muslim bahwa ibadah atau kebaikan bisa dilakukan dengan cara lain selain solat itu juga salah? Mungkin, iya. Namun aku tidak ingin berpikir muluk-muluk. Aku hanya belajar untuk menerima segala pendapat selama itu tidak merugikan orang lain. Namun, sejauh mana kita paham bahwa hal yang dilakukan seseorang itu memang tidak akan merugikan orang lain?
Sebagai seorang anak dan seorang muslim yang solat dan tadarusnya pun masih bolong-bolong, aku berusaha untuk tidak membedakan mana muslim sejati dan muslim KTP. Bagiku, muslim ya muslim. Orang yang mengaku beragama Islam, menyebar cinta dan kedamaian, pemaaf, menjaga kebersihan seperti yang diajarkan Quran, tidak melakukan kekerasan dan perbuatan tercela lainnya adalah muslim. Embel-embel kata sejati dan KTP di belakang kata muslim atau islam, hanya akan membuat semakin banyak perbedaan yang membuatnya menjadi keruh. Bukan malah menjadi indah.
Lagipula, ketika kamu menganggap seseorang itu sebagai muslim sejati, apakah kamu yakin, selama hidupnya ia hanya melakukan kebaikan dan tak sedikitpun melakukan keburukan? Begitu juga dengan penghakimanmu ketika menyatakan seseorang itu hanya Islam KTP. Apakah kamu yakin, bahwa keislamannya jauh lebih buruk dibanding keislamanmu yang ternyata masih senang memaki orang lain?
Oh iya, aku menemukan kata-kata muslim sejati di beberapa stiker dan tulisan yang mengajak pada kebaikan dengan cara yang mereka yakini benar. Kata islam KTP sering kudapatkan ketika temanku mengolok temannya yang jarang solat. Sempit.
Pendapatku, jika kamu masih hidup di dunia yang mengejar kesempurnaan akan segala hal, berkacalah. Jika kamu merasa belum sempurna akan hidupmu sendiri, ya kamu nggak perlu mengencangkan otot untuk menyebut orang lain sebagai Islam KTP, terlebih mengaku diri telah menjadi muslim sejati. Sempurna itu adalah jika kamu akhirnya wafat. Itulah kesempurnaan hidup. Wafat. Penutup. Meninggalkan nafsu duniawi.
Kamu tahu kan, Islam juga melarang seseorang untuk ria atau congkak? Katanya muslim sejati, tapi kok masih ria atas dirinya sendiri? Belum lagi dalam hal memaafkan. Yang aku tahu, Nabi Muhammad sangat pemaaf. Tapi kok, kamu yang seolah mengaku muslim sejati nggak bisa memaafkan? Ketika ada orang yang dinilai menista agamamu, dengan kerasnya kamu meminta kepada hukum bahwa orang itu harus dihukum seberat-beratnya. Aku juga sebal sih, jika ada orang yang sok tahu menafsirkan agamaku dengan cara pandangnya yang mungkin salah. Tapi, orang itu kan sudah minta maaf. Sudah menerima kehadiranmu dan pasukanmu dalam aksi yang kamu gelar berkali-kali. Kenapa tidak kamu maafkan saja sebagai tanda bahwa kamu adalah muslim sejati yang sanggup memaafkan sekalipun kamu terluka? Oh iya, apa ada dari dirimu atau keluargamu yang terluka secara fisik atau batin dan membuatnya menderita lalu tersiksa? Kalau tidak, ya nggak usah berlebihanlah. Tuhan saja Maha Pengampun, masa kamu nggak mau mengikuti perintahnya?
Lagipula, apakah kamu tahu apa yang sedang kamu perbuat? Ataukah kamu cuma ikut-ikutan sahabatmu saja tanpa tahu apa yang mestinya kamu bela dan dengan cara apa sebaiknya kamu membela apa yang kamu yakini itu?
Kalau kamu ingin membela agamamu, sebaiknya, gunakanlah cara yang cerdas. Misalnya--ini pendapatku saja loh ya, bela agamamu dengan menunjukkan bahwa agamamu mengajarkan segala bentuk kebaikan. Mengajarkanmu untuk memaafkan. Mengajarkanmu untuk berdamai. Mengajarkanmu untuk menerima perbedaan. Mengajarkanmu untuk menjauhi kekerasan dan menjunjung tinggi keadilan. Dan menunjukkan bahwa setiap manusia itu sama rata di hadapan Tuhan. Itulah makna Islam yang kuyakini sebagai seorang muslim, hanya muslim tanpa embel-embel apapun.
Dan bukankah guru mengajimu di masa kecil pernah mengatakan, bahwa agamamu mengajarkan kita untuk memaafkan dan menerima segala bentuk perbedaan? Oh, mungkin guru kita berbeda.
Terima kasih.
*lupakan pendapatku ini jika kamu tak ingin, atau jika Tuhanmu adalah nilai, uang, dan kekuasaan. :)
***
Aku dilahirkan dari perut seorang perempuan muslim Jawa atas kerja samanya dengan seorang lelaki yang menikahinya di usia 23 tahun. Ayahku seorang muslim Jawa yang tidak taat. Berbeda dengan ibuku yang jarang lupa solat lima waktu dan membaca Quran setiap maghrib. Kakakku laki-laki, dulunya ia rajin solat sama seperti ibuku, namun kini sangat jarang aku melihatnya beribadah solat, apalagi mengaji. Hidup di tengah keluarga yang memandang ibadah dengan cara yang berbeda menjadikanku pribadi yang mau belajar menerima segala bentuk perbedaan dan pemaafan.
Pandangan ibuku terhadap ibadah adalah, jika kamu muslim, ya kamu harus solat lima waktu. Namun ayah mengelak. Baginya, buat apa solat jika melakukannya karena terpaksa dan bukan karena ingin? Mungkin, ayahku memang tidak ingin. Atau belum, entahlah. Namun ia tetap percaya Tuhan itu ada. Ia juga kerap mengucap hamdalah sebagai rasa syukur dan selalu menyebut nama Tuhannya tatkala berkegiatan. Ia tetap mengaku seorang muslim karena ia percaya kepada Tuhannya meskipun ia tak pernah melaksanakan solat. Apakah itu salah? Apakah pendapat seorang muslim bahwa ibadah atau kebaikan bisa dilakukan dengan cara lain selain solat itu juga salah? Mungkin, iya. Namun aku tidak ingin berpikir muluk-muluk. Aku hanya belajar untuk menerima segala pendapat selama itu tidak merugikan orang lain. Namun, sejauh mana kita paham bahwa hal yang dilakukan seseorang itu memang tidak akan merugikan orang lain?
Sebagai seorang anak dan seorang muslim yang solat dan tadarusnya pun masih bolong-bolong, aku berusaha untuk tidak membedakan mana muslim sejati dan muslim KTP. Bagiku, muslim ya muslim. Orang yang mengaku beragama Islam, menyebar cinta dan kedamaian, pemaaf, menjaga kebersihan seperti yang diajarkan Quran, tidak melakukan kekerasan dan perbuatan tercela lainnya adalah muslim. Embel-embel kata sejati dan KTP di belakang kata muslim atau islam, hanya akan membuat semakin banyak perbedaan yang membuatnya menjadi keruh. Bukan malah menjadi indah.
Lagipula, ketika kamu menganggap seseorang itu sebagai muslim sejati, apakah kamu yakin, selama hidupnya ia hanya melakukan kebaikan dan tak sedikitpun melakukan keburukan? Begitu juga dengan penghakimanmu ketika menyatakan seseorang itu hanya Islam KTP. Apakah kamu yakin, bahwa keislamannya jauh lebih buruk dibanding keislamanmu yang ternyata masih senang memaki orang lain?
Oh iya, aku menemukan kata-kata muslim sejati di beberapa stiker dan tulisan yang mengajak pada kebaikan dengan cara yang mereka yakini benar. Kata islam KTP sering kudapatkan ketika temanku mengolok temannya yang jarang solat. Sempit.
Pendapatku, jika kamu masih hidup di dunia yang mengejar kesempurnaan akan segala hal, berkacalah. Jika kamu merasa belum sempurna akan hidupmu sendiri, ya kamu nggak perlu mengencangkan otot untuk menyebut orang lain sebagai Islam KTP, terlebih mengaku diri telah menjadi muslim sejati. Sempurna itu adalah jika kamu akhirnya wafat. Itulah kesempurnaan hidup. Wafat. Penutup. Meninggalkan nafsu duniawi.
Kamu tahu kan, Islam juga melarang seseorang untuk ria atau congkak? Katanya muslim sejati, tapi kok masih ria atas dirinya sendiri? Belum lagi dalam hal memaafkan. Yang aku tahu, Nabi Muhammad sangat pemaaf. Tapi kok, kamu yang seolah mengaku muslim sejati nggak bisa memaafkan? Ketika ada orang yang dinilai menista agamamu, dengan kerasnya kamu meminta kepada hukum bahwa orang itu harus dihukum seberat-beratnya. Aku juga sebal sih, jika ada orang yang sok tahu menafsirkan agamaku dengan cara pandangnya yang mungkin salah. Tapi, orang itu kan sudah minta maaf. Sudah menerima kehadiranmu dan pasukanmu dalam aksi yang kamu gelar berkali-kali. Kenapa tidak kamu maafkan saja sebagai tanda bahwa kamu adalah muslim sejati yang sanggup memaafkan sekalipun kamu terluka? Oh iya, apa ada dari dirimu atau keluargamu yang terluka secara fisik atau batin dan membuatnya menderita lalu tersiksa? Kalau tidak, ya nggak usah berlebihanlah. Tuhan saja Maha Pengampun, masa kamu nggak mau mengikuti perintahnya?
Lagipula, apakah kamu tahu apa yang sedang kamu perbuat? Ataukah kamu cuma ikut-ikutan sahabatmu saja tanpa tahu apa yang mestinya kamu bela dan dengan cara apa sebaiknya kamu membela apa yang kamu yakini itu?
Kalau kamu ingin membela agamamu, sebaiknya, gunakanlah cara yang cerdas. Misalnya--ini pendapatku saja loh ya, bela agamamu dengan menunjukkan bahwa agamamu mengajarkan segala bentuk kebaikan. Mengajarkanmu untuk memaafkan. Mengajarkanmu untuk berdamai. Mengajarkanmu untuk menerima perbedaan. Mengajarkanmu untuk menjauhi kekerasan dan menjunjung tinggi keadilan. Dan menunjukkan bahwa setiap manusia itu sama rata di hadapan Tuhan. Itulah makna Islam yang kuyakini sebagai seorang muslim, hanya muslim tanpa embel-embel apapun.
Dan bukankah guru mengajimu di masa kecil pernah mengatakan, bahwa agamamu mengajarkan kita untuk memaafkan dan menerima segala bentuk perbedaan? Oh, mungkin guru kita berbeda.
Terima kasih.
*lupakan pendapatku ini jika kamu tak ingin, atau jika Tuhanmu adalah nilai, uang, dan kekuasaan. :)
aku setuju sama kamu loh
ReplyDelete