Pasir dan air |
Tak ada yang spesial dari diriku. Namun, aku tahu, ada yang spesial dari dirinya.
***
Matahari pagi ini panasnya bukan main. Menyambar tak ada henti.
Membasahi dahi setiap orang yang kutemui. Sialnya lagi, dia datang di
waktu yang salah. Hari ini ada presentasi tugas akhir semester, aku
terlambat, dan bajuku basah dibuatnya. Keringat sialan. Matahari sialan.
Jalanan sialan. Tolong, biarkan sejenak aku merutuk dalam hati.
"Brengsek! Bahkan rokok aja jauh-jauh dari gue." Mulutku tak berhenti memaki setiap hal yang menyebalkan hari ini.
"Lu ngapa, Gas? Ngomel mulu. Buruan sini flashdisk-lu. Digampar Bu Tati mampus aja lu. Telat mulu," gerutu Ali, temanku berbagi kesialan hidup.
"Nih. Kagak ada yang bener ngerjainnya," gerutuku balik pada Ali.
Nyinyir atas hasil kerja ketiga temanku yang lain dalam kelompok ini.
"Udeh ayo maju. Lu yang presentasi, nanti gua yang jelasin."
Majulah Ali, Ivan, Toni, Yoga dan juga aku, ke depan kelas.
Mengambil meja bangku, lalu menyiapkan laptop, proyektor, dan catatan.
"... jadi kesimpulannya, film Kartu Pos karya Erwin ini merupakan
film indie yang merepresentasikan budaya populer di Indonesia. Film ini
ditawarkan kepada masyarakat lokal dan interlokal, yang bersifat
kontemporer dan mandiri."
Kututup presentasi tugas kelompokku dengan kesimpulan. Bersama Ali,
aku menjelaskan dan menjawab pertanyaan penonton di kelas sempit, pada
pagi menuju siang ini.
***
Kesialanku berikutnya tidak juga mau pergi meninggalkan. Aku
diminta Bu Tati untuk membetulkan salah satu program di laptopnya, di
ruang dosen. Dan, di sanalah pertama kalinya aku bertemu Ranum. Gadis
sederhana berkepang satu. Padahal, rambutnya pendek, hanya sepundak.
Rambut yang terjumput kepangannya hanya sedikit. Aneh. Kalau kalian
melihat gadis ini di jalan, aku yakin, kalian akan merasa heran,
sekaligus kagum. Aku mengalaminya.
"Nilai kehadiranmu di beberapa mata kuliah menurun. Saya kecewa," ujar Bu Tati kepada Ranum.
"Maaf, Bu. Tapi untuk setiap mata kuliah, saya tetap menyisakan
satu hari hak mahasiswa untuk tidak hadir, agar saya tetap bisa ikut
ujian. Nggak masalah, kan, Bu?" Ranum bertanya dengan senyum ringan.
"Ya, memang. Dan bukan masalah saya juga kalau beberapa dosen
mulai mempertimbangkan nilai kamu. Paling tidak, saya sudah ingatkan."
"Iya. Terima kasih atas kepedulian Ibu."
"Baiklah. Selamat belajar kembali, Ranum."
"Terima kasih." Segera, Ranum meninggalkan Bu Tati dan ruangannya. Juga meninggalkanku.
Ranum, dan Dengarlah Nyanyian Angin. Seorang gadis bernama Ranum,
dan buku berjudul Dengarlah Nyanyian Angin yang digenggamnya, berhasil
menembak mati kesialanku. Selamat tinggal, kesialan... Terima kasih. Aku
telah menemukannya.
Segera kuselesaikan tugasku sebagai IT pribadi Bu Tati. Padahal,
jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku teramat sangat menolaknya. Dan
teramat sangat ingin mengejar Ranum. Saat ini juga.
Jika kisah cinta dihubungkan dengan perjuangan dan air mata, maka
itu tidak berlaku bagiku. Aku tidak berjuang, hanya berusaha. Aku tidak
ingin ada air mata, tetapi tawa dan bahagia. Ya, aku tahu, itu hanya
harapanku. Karena kejadiannya tidak melulu begitu.
"Ranum," panggilku kepadanya. Sontak, ia menoleh dengan senyum hangat sekaligus heran.
"Ya?" Aku suka sekali senyumannya.
"Suka baca Murakami juga?" tanyaku sambil menunjuk buku di
tangannya. Aku yakin, pasti dalam hati ia bertanya, orang gila mana yang
tiba-tiba sok asyik menegurnya. Tapi, aku tak peduli. Aku hanya peduli
pada saat ini. Waktu ini. Bersamanya.
"Hmm... Punya bukunya, tapi jarang dibaca. Jadi, gimana tuh? Masuk
ke indikator suka baca atau nggak? Haha..." Aku suka tawanya. Dan
jawabannya yang jauh dari ekspektasiku.
"Kenalin, gue Bagas," ucapku seraya menyodorkan tangan.
"Ranum." Tegas dan hangat. Ia menggenggam tanganku balik. Aku menghafal betul senyumannya.
***
Tiga bulan pertemananku dengan Ranum, aku mulai intim berbicara
dengannya. Kalau ada sembilan di antara sepuluh perempuan yang
mengatakan bahwa mereka senang dikirimi setangkai bunga, Ranum adalah
satu yang berbeda. Dia bilang, dia lebih senang diberikan satu pot kecil
tanaman bunga. "Bunga, kan, juga punya hak untuk terus hidup dan
dihidupi," kata Ranum, (ehm!) calon gadisku.
Aku memutuskan untuk mencintainya. Sekalipun aku tak pernah paham
definisi cinta. Aku hanya ingin dia untukku. Menjadi gadisku. Dan aku
berhasil.
Di bulan purnama berikutnya, Ranum resmi menjadi kekasihku. Gadisku. Kami bahagia.
"Menurut kamu, kenapa sepasang kekasih akhirnya harus menikah?" tanyaku pada Ranum dengan latar senja di sebuah taman.
"Mmmm... biar nggak dibilang kumpul kebo kali," celetuknya ringan.
"Ah, tapi tetap aja. Nggak menjawab keheranan aku."
"Kamu sendiri, kenapa waktu itu sok yakin mau nikahin aku?"
"Ya, karena aku maunya bisa terus hidup sama kamu. Aku tahunya
kalau nikah, kan, bisa terus sama-sama. Selamanya." Entah daya dari mana
sampai aku merasa betapa aku tak akan sanggup hidup tanpanya. Ranum
gadisku. Pujaanku.
"Mungkin itu jawaban sederhana atas keheranan kamu."
"Ah. Tetap aja aku nggak puas."
"Puasnya apa, dong?" ledek Ranum menatap mataku lekat.
"Kamu." Segera dan tanpa ragu aku mengecup bibirnya. Menghisapnya.
Mencoba menemukan di mana letak titik manisnya. Titik yang selalu
membuatku tergoda untuk mengecupnya. Ya, tanpa perlu ia berlagak
menggodaku, bibirnya adalah candu. Sekaligus racun yang suatu saat akan
menghancurkanku. Entah kenapa, aku yakin itu.
"Aku sayang kamu, Ranum. Biarkan aku menikmati manismu." Tak
sekalipun aku biarkan bibirnya menjauh dari bibirku. Aku suka bau
bibirnya. Juga lembab. Manis. Empuk.
***
Segalanya berubah. Tak lagi menjadi indah. Mungkin inilah salah satu rasa dalam cinta, yang memang perlu dirasakan.
Kutemui Ranum dalam mimpi. Wajahnya masih tetap manis. Seperti dewi
dengan gaun putih yang membaluti tubuhnya, ia berjalan lurus ke arahku.
Menapaki pasir dan membekasinya dengan jejak. Ia lantas menggenggam
kedua pipiku lembut. Mengecup bibirku cepat tak sampai lima detik, namun
terasa. Lekat. Angin laut itu meniupi anak rambutnya yang sering
mencuat.
Aku hampir saja kehilangan wanginya, ketika perlahan mataku
membuka. Ranumku berpendar. Seolah dialah warna yang selama ini kucari.
Namun, perlahan ia hilang. Lenyap. Berubah menjadi angin yang tak
sanggup kugenggam. Atau sebenarnya ia telah menyatu dengan jiwaku,
momentum yang tak pernah aku sadari.
Hatiku patah, perih bukan main. Lima bulan setelah kami resmi
berpacaran. Dua bulan setelah aku bercumbu mesra, bercinta dengannya.
Satu minggu setelah kuputuskan untuk tidak menghubunginya lagi. Tak
kukira Ranumku, gadisku, begitu nekat untuk pergi.
"Jangan pernah pergi. Kalau kamu pergi, aku akan hilang." Masih
teringat jelas ketika Ranum membisik di telingaku. Lalu kujawab dengan
pasti.
"Iya. Aku nggak akan pergi." Dan nyatanya, akulah yang lebih dulu pergi darinya.
Tak pernah kutahu bahwa Ranum, gadis sederhana yang kukagumi, yang
senang tertawa dan menghiburku, yang tak pernah ragu menjadi dirinya
sendiri, ternyata tak pernah menginginkan kehidupan ini.
Ranum pergi bukan karena mati. Ranum hilang. Lenyap. Seperti yang
terjadi dalam mimpiku. Ranum berada di antara hidup dan mati. Aku pernah
tak sengaja membaca jurnalnya. Pada halaman yang dilipat ujungnya,
kutemukan deretan aksara yang tak akan pernah bisa kutembus untuk
menemukannya.
"Jika cinta begitu banyak menghasilkan tangis dan tawa pada satu
garis masa, kenapa ia hanya hadir tapi enggan mengobati?"
Kututup jurnalnya. Kuputuskan untuk tidak lagi menghubunginya. Aku
tahu, akulah manusia pengecut yang takut Ranumku terluka. Aku tak ingin
memberinya cinta, jika aku tak sanggup mengobati. Aku tak ingin terus
melihatnya menangis. Aku ingin Ranum selalu tertawa. Bahagia. Berwarna.
Sekalipun aku harus mengingkari janjiku sendiri.
***
Hal terakhir yang kuketahui tentang Ranum, datang pagi ini. Sebuah
kartu pos dengan sampul belakang bergambar Vespa, bertuliskan:
Kepada: Bagas
Di rumah
Hai, Cinta Matiku! Aku telah menemukan matahari di sini.
Meski bukan rumah. Sepertimu. Aku akan baik-baik saja. Jangan mencari,
karena aku tak akan pernah hadir. Tapi percayalah, aku akan selalu ada.
Untukmu. Aku menyayangimu. Selalu.
-Ranum
Tak ada alamat rumahku yang dicantumkannya. Kartu pos ini datang
bukan melalui pos. Tapi melalui dirinya sendiri. Aku kini percaya, aku
mencintainya habis-habisan. Tak ada yang salah atau yang benar dalam
langkah ini. Kami berdua telah memilih.
Dan aku percaya, Ranum akan selalu ada. Untukku. Berpendar, menjadi cahayaku.
Izinkan aku untuk menitip salam kepadanya,
"Ranumku, aku rindu."
"Ranumku, aku rindu."
***
Sementara, Ranum di timur sana:
"Aku ingin kamu selalu bahagia, Bagas. Sekalipun kamu ingin aku menjauh, aku akan menjauh. Untukmu."
No comments:
Post a Comment