Foto: Patung Peminta Hujan di Istana Bogor |
Namanya Sari, penari tradisional asal Yogyakarta yang sampai saat ini masih menari. Sudah tiga tahun Sari terus menanti dan membaca surat-suratnya. Surat yang selalu membawanya kepada kebahagiaan. Kadang rapuh memang, ringkih, namun kata-katanya seolah terus menari, mengikuti irama hati. Seringnya, ketika Sari tiba di kata terakhir, ia lalu tersenyum. Nama pengirim surat itu selalu membuatnya berseri.
Kala itu hujan turun dengan derasnya. Anaknya pulang, mengetuk pintu. Lamunan Sari terhapus dan dengan sigap ia menuju pintu, membukanya. Anak Sari basah kuyup, lalu Sari menggendongnya masuk ke dalam rumah. Anak perempuan yang mungil dan manis itu berusia 7 tahun. Namanya Ranum. Ia selalu meminta satu hal yang sama dengan mata kecilnya yang selalu berbinar penuh harap kepada Sari, "Bacakan surat itu lagi, Bu."
Sari sangat mencintai anak perempuannya yang satu-satunya itu. Ia tak pernah menolak kehendak Ranum. Dan untungnya, Ranum adalah anak manis yang tak pernah memohon apapun kecuali membacakannya sebuah surat setiap sore hari. Pernah suatu ketika Sari kehabisan stok surat yang biasanya ia bacakan untuk Ranum. Hampir kehabisan akal, namun akhirnya Sari terpaksa menuliskan sebuah cerita dalam secarik kertas yang lalu dimasukkannya ke dalam amplop. Mirip sepucuk surat. Seolah itu surat benaran, Sari menaruhnya di atas meja. Ia seakan-akan menemukannya di atas meja, lalu membuka amplopnya, mengeluarkan isinya, dan membacakannya khusus untuk Ranum seorang.
Sari bahkan harus memaksakan dirinya membaca koran setiap hari hanya untuk mendapatkan sebuah artikel atau berita tentang kemanusiaan yang ditulisnya ulang. Menulisnya dengan gaya penulisan yang sangat mirip dengan tulisan si pengirim surat.
Anak ini kritis, mirip bapaknya, pikir Sari.
Benar saja, tak lantas percaya, Ranum bertanya, "Kok nggak ada cap posnya, Bu? Nggak ada prangkonya?"
Sari tercekat, bingung hendak menjawab apa. Ia hanya diam. Berharap Ranum bosan dengan pertanyaannya itu dan segera memintanya membacakan surat.
"Kok, Ibu diam?"
"Ibu tidak tahu, Sayang. Sudah ada seperti ini saat ibu menemukannya di meja tadi."
"Aneh. Baiklah, Bu. Ayo cepat bacakan surat itu!" harapan Sari terkabul. Terima kasih, Tuhan, pikirnya.
Sari mulai membacakan isi surat dalam amplop cokelat itu. Ranum tersenyum dan tertawa puas. Ia bahagia dengan pesan-pesan yang tertulis dalam kertas, yang kini akan selalu disimpan dalam sebuah kotak di kamarnya. Percayalah, itu surat buatan Sari. Tapi, Ranum hanya percaya itulah surat-surat yang berlanjut yang ditujukan untuk Ibunya. Untuk dirinya. Surat cinta dari seorang jauh yang berisi cinta dan segala cerita pembebasan hak asasi manusia.
Ranum tak pernah tahu, bahwa di luar sana, ada seorang lelaki yang kini terbaring lemah. Dipukuli habis-habisan dengan sepatu pantofel hitam yang licin. Seperti pergerakan kaki pemakainya yang selalu licin ketika menendang-nendang tubuh lelaki yang selalu membawa bolpoin di saku celana lusuhnya.
Tidak hanya seorang, tapi tiga belas. Bodohnya, si pengguna pantofel hitam itu tak pernah tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. Ia hanya menjadi manusia bodoh yang selalu menurut patuh dan takut pada atasan yang juga sama bodohnya. Tidak sadarkah pengguna pantofel itu, bahwa sebenarnya para atasannya juga telah merenggut hak asasi atas dirinya?
Tapi, Sari selalu tahu itu.
-Aku menulis ini dengan perasaan damai berlatar lagu Tarian Sari karya Leilani Frau. :)
No comments:
Post a Comment