Mungkin ini harapan, mungkin ini bekas lampu yang bergelantungan. Entahlah. |
Lalu, aku melihat ada kesedihan di mana-mana.
Seperti... di buku Bumi Manusia yang ditulis Pram, ketika Minke merasa bodoh telah telanjur masuk dalam drama kehidupan keluarga Mellema. Di mana Minke seharusnya lebih memikirkan tugas dan sekolah HBS-nya, yang baginya itu lebih penting sebagai seorang terpelajar. Mungkin bukan hanya untuk sekolahnya, bukan sekadar untuk dirinya, namun untuk orang banyak. Sayangnya, ajakan Suurhof pagi itu ke Wonokromo malah membuat Minke harus menghadapi segala kemanjaan Annelies, keberanian Nyai Ontosoroh, bahkan kecemburuan Robert Mellema atas dirinya. Hampir di pertengahan buku, Minke berkata pada dirinya sendiri, "Goblok kau sebagai terpelajar."
Tunggu dulu, cerita Minke menghadapi segala kebodohannya ini belum selesai aku jelajahi. Mungkin saja, melalui kegoblokannya itu, Minke bisa lebih mampu mengerti, mampu memaknai hidup sebagai realita dan tak semata hanya untuk memandangi kecantikan Sri Ratu Wilhelmina dalam beberapa kali lamunannya.
Bagiku, itu adalah salah satu kesedihan seorang Minke. Terpelajar yang masih harus belajar untuk mengerti, dan bersyukurlah ia memiliki sahabat seperti Jean Marais dan putrinya, May.
Kesedihan lainnya kutemukan dalam tubuh Nayla, yang kubaca dari kumpulan cerpen karya Djenar Maesa Ayu berjudul SAiA. Bukan Nayla yang membuatku sedih. Sungguh. Melainkan tubuhnya. Dan jujur, aku juga bersedih atas gaya penulisan Djenar yang agak membosankan dengan rima a-a-b-b terkesan kreatif dan dipaksakan. Maaf.
Nayla dalam SAiA diceritakan menjadi beberapa tubuh. Menjadi beberapa karakter perempuan. Ada Nayla yang berperan sebagai gadis korek api yang siap membuka selangkangannya demi mengobati kesepian bocah laki-laki berusia sepuluh hingga belasan tahun. Baginya, bocah-bocah itu juga merasakan kesepian yang sama seperti dirinya. Nayla diculik oleh seorang bandar judi dan dijual sangat murah kepada Mami. Nayla pikir, apa salahnya jika bocah-bocah belia itu dapat merasakan kenikmatan seperti yang selalu dapat ia rasakan. Hanya dengan modal sepuluh ribu rupiah per kotak korek api, dan... creeess! selangkangan Nayla terbuka di bawah meja, siap dinikmati. Juga menikmati. Setelahnya, bocah laki-laki yang telah berhasil menikmati vaginanya, malah lantang bicara di luar sana, "Dasar lonte!" Dan... creeess! kebakaran terjadi. Bersedihlah tubuh Nayla dalam api yang menari.
Di cerita lain, Nayla berperan menjadi gadis yang terkena virus HIV/AIDS setelah rutin bertukar suntikan. Lalu ia terkapar di atas lantai bersama para sahabat (alias musuh sebenarnya), juga dengan laki-laki yang dicintainya. Lelakinya itu telah meninggalkannya terlebih dulu dengan virus yang sama. Tubuh Nayla kemudian berjuang sendirian. Menghadapi virus yang membuatnya dijauhi teman-temannya. Menghadapi bayangan laki-laki yang amat dicintainya, yang sudah tak mungkin sanggup ia rengkuh lagi raganya. Dan, berjuang menghadapi waktu dan rasa sakit yang semakin menyadarinya akan waktu, juga kenangan. Ah, bersedihlah tubuh Nayla dalam luka.
Di cerita yang lain lagi, Nayla menjadi seorang Ibu yang tak pernah menikah, namun memiliki seorang anak perempuan yang cantik. Nayla membuat dongengnya sendiri bahwa bahagia itu bisa diraih tanpa harus menikah. Ia utarakan itu kepada anaknya. Tidak perlulah konsep kebahagiaan mentah seperti dalam cerita Upik Abu, Putri Salju, dan Putri Tidur, yang sempurna kebahagiaannya karena hadirnya seorang pangeran dalam hidup. Nayla dicaci karena pikirannya. Inilah kisah Nayla yang waktu itu amat sangat percaya kepada kekasihnya, bahwa dia takkan setega itu menyakitinya. Nyatanya, Nayla salah, kejadian di motel malam itu, kejadian yang sebenarnya tak ia sukai, membuatnya hamil dan harus mengurus anaknya seorang diri. Tak hanya itu, Nayla juga harus menghadapi fakta bahwa Lembaga Pendidikan di mana ia mendaftarkan anaknya bersekolah mengaku, "Dengan tegas menolak seks bebas." Nayla sulit menemukan sekolah yang bisa menerima anaknya belajar dan bersosialisasi. Bersedihlah tubuh Nayla dan anak semata wayangnya.
Bosan dengan polemik seksualitas, feminisme, dan representasi tubuh perempuan, aku pindah ke buku Pangeran Cilik - Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupery.
Dari sebuah pernyataan dalam pengantar di bukunya ini, kutemukan kenyataan paling menyedihkan yang aku rasakan:
"Semua orang dewasa pernah menjadi anak-anak. (Sekalipun hanya sedikit yang ingat.)"
Pangeran Cilik berani mengubah segala kesedihanku, kesedihan Minke, kesedihan Nayla, dan kesedihan Orang Dewasa menjadi kenikmatan alamiah yang sanggup manusia terima. "Pandanglah langit. Dan akan kalian lihat betapa segala sesuatu berubah," katanya.
-Untuk Nala, jika ia lahir kelak... :)
No comments:
Post a Comment