Hari
ini Minggu, hari yang biasanya aku benci karena besok harus ngantor dan bertemu
para budak sanjungan. Tapi untungnya dua tahun telah berlalu. Hari Minggu ‘itu’
telah berlalu.
Sebelum
membaca kelanjutan kisah ini, pesanku adalah… maaf, jika aku tiba-tiba berubah menjadi
mengerikan bagi kalian. Setidaknya, untuk orang-orang yang gemar
menyumpah-serapahi perempuan jadi-jadian sepertiku.
***
“MICEEEE!!!
Ayo, berangkat! Ditunggu Mamih!” panggil Kanti, perempuan jadi-jadian kedua
dalam cerita ini.
“Bentaaar.
Eike pakai gincu dulu, Neeek!”
“Jangan
lupa sumpel! Ikikikikkk,” ledek Kanti tertawa mengikik.
“Udah!
Gede. Bahenol. Hih,” sambungku sambil menggoyang-goyangkan dada yang kuganjal
dengan sisa-sisa kain jahitan.
“Bohaaaay!”
seru Kanti seraya menonjolkan suara serak kelaki-lakiannya.
***
Aku
menelusuri jejak malam dengan lipstik merah cabai dan sumpal dada di balik
kutangku. Wajahku dilapisi bedak putih setingkat lebih terang dari kulit.
Alisku yang tebal tertata rapi alami berwarna hitam kecokelatan, menarik
perhatian setiap lelaki yang kutemui. Hidungku bangir, berpresisi dengan bentuk
bibirku yang tipis namun sadis.
Mereka
bilang, aku cantik. Manis seperti nona Belanda dengan tambahan kata jadi-jadian
di belakangnya. Menjadi semacam… Nona Belanda Jadi-jadian. Aku sih, tidak
peduli. Bagiku, nilai adalah hal yang tak patut kupikirkan, apalagi kusembah.
Dalam
keadaan sebegini terasingnya, aku semakin merindukan anakku. Namanya Putri. Dia
anak yang cerdas. Pernah suatu ketika temannya mengompol di kelas. Teman-teman
yang lain malah menertawakan, namun Putri tidak. Bagi kebanyakan anak kelas 1
SD mungkin hal itu sebuah hiburan, kenangan untuk kemudian ditertawakan ketika
kelak mereka berubah menjadi dewasa—pun berjiwa kekanak-kanakan, namun Putri
berbeda, ia malah mengambil pel untuk mengesat kencing temannya itu. Menemaninya
ke toilet, membantunya membersihkan celana pendek merah yang dikenakannya. Ya,
temannya itu laki-laki, tetapi Putri tidak sedikitpun merasa risih. Baginya,
semua teman adalah sama. Tak ada yang spesial. Sayangnya, gurunya malah
menuduhku sebagai ayah yang telah membuat Putri menjadi binal. Melakukan
tindakan asusila kepada teman lelakinya. Aneh.
Aku
masih ingat, ketika Putri diomeli habis-habisan oleh Bu Guru galak yang
menuduhnya telah memaksa teman lelakinya itu untuk buka celana. Padahal, Putri
hanya ingin membantunya membersihkan sisa kencing, sekaligus membantu
meringankan beban psikologis yang diterima anak itu ketika diolok
teman-temannya.
“Kenapa Ibu malah mengomeli saya? Kenapa Ibu
nggak segera menemaninya ke toilet?” Putri bertanya pada Bu Guru dengan
polosnya.
Sampai
kapanpun, aku akan terus mengingat peristiwa itu. Skenario yang dilanjutkan
oleh gurunya sendiri dengan drama yang memuakkan.
“Ce! Ngelamun aja sih, Lu! Nggak ngamen?” Limo
membuyarkan ingatanku yang tiba-tiba muncul. Sekaligus mengingatkanku bahwa aku
butuh uang dan harus buruan ‘kerja’.
***
Sesampainya
di rumah, aku membuka laptop. Melanjutkan tulisanku yang sudah kusimpan
seminggu yang lalu. Membiarkannya terburai dengan waktu dan udara terlebih
dulu. Sebentar saja. Kurasa, benda mati ini juga butuh udara. Butuh penyesuaian
akan waktu untuk kembali hidup.
“Ayah
sudah pulang?” suara parau Putri mengagetkanku.
“Lho,
Sayang, kok kamu bangun?” Segera, kulepaskan wig panjang yang kujepit erat di
antara rambut asli ini.
“Ayah,
kenapa Ayah selalu jadi cantik kalau malam?”
“Karena…
Ayah bosan menjadi ganteng melulu. Kata Putri kan, Ayah ganteng.”
“Iya,
tapi kenapa jadi mirip seperti Tante Kanti, Yah?” perlahan, Putri menghapus
lipstikku dengan ibu jari kecilnya.
Aku
tersedak ludah sendiri. Sebenarnya, aku juga lelah dengan polesan di mukaku.
Tapi, inilah satu-satunya cara agar aku tetap bisa menulis. Mencari uang, untuk
kehidupan anakku satu-satunya. Untuk Putri, dan tentunya untuk Rona, mendiang
istriku.
Asal
kamu tahu, wahai para pembaca, aku sengaja menjadi waria agar cinta dan
pikiranku untuk istri dan anakku tetap terjaga. Tak perlu tenggelam lenyap,
tergantikan oleh perempuan-perempuan yang sanggup menggoda imanku. Aku ingin
terus seperti ini, memahami pikiran dan rasanya menjadi orang yang berbeda
lantas dibeda-bedakan. Menulisnya, menuangkannya dalam suatu artikel yang siap
kukirimkan ke media massa agar dibaca banyak orang. Tak perlu tentangku yang
mereka baca, tapi tentang betapa kekanak-kanakannya penduduk di negeri ini.
Negeri yang dibangun dengan tumpah darah dan air mata malah berjalan dengan
segala ketidakadilannya dan kesalahpahamannya.
“Ayah…
Ayah melamun?”
“Sayang, Ayah nggak bisa menjawab apapun kali ini. Ayah harap, Putri mengerti tanpa perlu Ayah bercerita.”
“Tapi
Putri benaran nggak ngerti, Yah.”
“Kalau
begitu, nggak perlu dimengerti. Nanti juga akan ada jawabannya.”
“Ayah
menyamar, ya? Seperti detektif-detektif yang ada di tv itu?”
“Ayah
cuma ingin mengobrol lebih dekat dengan Tante Kanti, Om Limo, Bang Darul, dan
teman-teman yang lain. Ayah ingin menceritakan apa yang mereka alami ke banyak
orang. Tentang penderitaan mereka, kebahagiaan mereka, harapan, agar kehidupan
mereka bisa dimengerti, Sayang.”
“Ayah
orang hebat ya, Yah?” Mata Putri terlihat memancar, senang, berbinar-binar.
“Ayah
adalah ayahnya Putri. Bukan orang hebat.”
“Tapi Ayah hebat! Mereka bahkan nggak tahu Ayah. Mereka bisanya cuma menghina-hina Ayah. Menangkap Ayah kalau ada razia dan ketahuan ngamen.”
Kupeluk
cium anakku yang cantik ini. Kunikmati wangi rambutnya yang halus, mengingatkan
aku pada Rona yang amat kucinta.
“Ayah
sayang Putri,” kudekap erat Putri dalam pangkuanku.
“Putri
juga sayang Ayah,”
ia membalas,
mengecup pipiku.
Malam
ini, kuputuskan untuk membiarkan layar laptopku menyala hingga mati dengan
sendirinya. Aku ingin membacakan sebuah cerita pengantar tidur untuk Putriku. Berbaring
dan terlelap di sampingnya.
***
Paginya,
aku kembali menjadi Remy Sunandar, kolumnis yang tak pernah diketahui tempat
tinggalnya. Remy yang dikenal sebagai kolumnis paling sarkastis, yang selalu
menyisipkan sinisme dalam setiap tulisannya. Pagi sampai sore hari adalah
kesempatan untukku menjadi seorang bapak yang memang seharusnya. Maka, kesempatan
ini tak akan pernah kubiarkan pergi.
Aku
selalu memilih kontrakan Limo sebagai ruang kerjaku. Limo, tukang ojek online beranak tiga, yang ketiga anaknya
beserta seorang istrinya tinggal di kampung. Di sebuah desa yang jauh dari
peradaban kota. Kudengar dari Kanti, ternyata diam-diam Limo naksir kepadaku
ketika aku berdandan menjadi Mice. Duh, ngeri juga, pikirku.
Tapi
aku yakin, Limo dan Kanti adalah dua sahabat terbaik yang kini kumiliki. Di
kontrakan Limo, aku bisa bekerja, menulis, membaca, dan meriset sampai sore.
Malamnya bersama Kanti, aku bisa mendekati banyak orang yang ingin aku
wawancarai atau hanya sekadar mencari informasi.
Sebagai
Mice, aku bisa dengan mudah mendekati berbagai macam karakter orang dari
berbagai kalangan. Memang, aku hanya seorang waria, perempuan jadi-jadian yang
bekerja sebagai pengamen, sekaligus menemani lelaki yang kesepian. Tapi aku
bukan waria murahan. Aku waria yang fleksibel. Jika malam ini aku hanya bisa menemani
tukang becak, malam selanjutnya aku bisa saja menemani asisten seorang manajer.
Bersama Kanti, aku bisa mendekati siapapun.
Tak
terkecuali malam ini, di tengah remangnya cahaya lampu, seorang sopir dari
(yang katanya) Habib yang cukup terkenal menghampiriku. Katanya ia mau curhat. Kuterima saja permintannya.
“Ce,
aku mau curhat, nih. Tapi, kamu jangan nanya yang aneh-aneh dulu, ya,” ujar Mas
Darma dengan logat jawanya.
“Iya,
Mas. Mice nurut deh,” jawabku lembut seraya mengusap lembut bahunya.
“Majikanku
itu lho, Ce…”
“Kenapa,
Mas? Galak?”
“Galak
sih, yo, wes biasa. Cuma, anu…”
“Anu
apa, Mas? Mice nggak ngerti.”
“Dia…
musyrik, Ce.”
Aku
terkesiap, tak siap. Namun, perlahan aku menoleh. Rupa-rupanya ada yang sedang
mengintai.
Tak
jauh dari sini, kulihat Putri sedang mengintip dan menutup sebelah matanya
dengan boneka panda. Anakku satu itu, memang sama isengnya seperti diriku.
Kamar,
20/12/2016 (pernah diikutsertakan dan terpilih dalam acara workshop menulis bersama Eka Kurniawan sebagai syarat agar dapat mengikuti workshop tersebut. Hehe.)
No comments:
Post a Comment