10/05/2018

Nyanyian Pecahan Gelas

Aku seperti sedang berjalan di atas bukit berpasir kali ini. Sebentar-sebentar berhenti, mencari rapatnya pasir yang kokoh untukku menjejak, membuatku yakin untuk berpijak. Lalu, sontak aku berhenti. Samar-samar kudengar alunan musik yang membuatku terhanyut dan lupa diri. Aku tidak pernah tahu apakah itu jenis musik Jazz, atau Blues, atau Country, yang kutahu adalah semakin lama musik itu mengalun, semakin sering pula kaki ini mengentak nikmat mengikuti iramanya. Bahkan sampai lupa bahwa aku sedang gemetar menginjak hamparan pasir sebegitu lama.

Aku terkejut.

Seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku menyuruhku bangun. Tak lupa ia juga berteriak kencang memanggil-manggil namaku di telinga. Kepalaku sakit. Aku gelisah dan bangun dengan susah payah. Usahanya berhasil. Aku terbangun dan segera meneguk air putih dalam gelas kaca yang dari semalam kupandangi tanpa kata-kata. Ternyata, aku masih ingat betul apa yang kulakukan semalam suntuk. Gelas bening itu sedang hampa-hampanya dan aku menemaninya. Kami adalah sahabat baik. Sepasang benda yang berbeda nasib namun bersifat sama. Dia adalah benda mati dan aku adalah benda dari kawanan yang hidup. Setidaknya, kami sama-sama benda yang mudah sekali pecah.

Aku teringat irama musik yang tiba-tiba mengusikku ketika memandang gelas itu lagi. Seseorang yang sedari tadi memanggil namaku lantas heran menemukan mukaku yang semakin kusut. Seseorang lain kudengar sedang bernyanyi dalam bahasa yang tak kumengerti tapi dapat kurasakan betul kesedihannya. Kekacauan pikirannya.
*Oi mutsi mutsi stiggaa lamppuun eldis
Mä kohta kohta delaan jengist veks...
Aku betul-betul tidak memahami artinya dalam bahasa verbal. Tapi suara, nada, dan alunan musiknya, entah bagaimana bisa membuat hatiku pecah dan aku menangis sejadi-jadinya. Aku teringat gelas itu lagi dan lagi, ia begitu kokoh dan kuat. Bahkan ketika ia jatuh dan terbelah, pecahan-pecahannya masih sanggup melukai manusia, juga melukaiku, pikirku. Dan ternyata kami seutuhnya berbeda. Kusadari itu pada larik-larik terakhir yang dinyanyikan oleh suara yang sama. Suara yang tak kukenal siapa pemiliknya.
*Valkoisen sprigin kai mulle jostain slumppaat
Kalsaan skrubuun mut kohta slepataan...
Setidaknya, aku tak perlu melukai siapapun saat ini. Sekalipun aku ingin.

Setelah tegukan terakhir dengan gelas yang sama, aku menyerah lagi pada kantuk. Kutemui kawan lamaku dalam dunia yang sama sekali berbeda. Ia berbicara, bahagia, dalam pengasingannya.

***



(*lirik lagu Oi Mutsi Mutsi karya Tuomari Nurmio yang dirilis pada 1979.) 

No comments:

Post a Comment