Menunggu adalah kata kerja yang mengganggu. Terlalu banyak menunggu sama saja dengan membiarkan anak cucu kelak terbunuh tanpa ragu. Segala janji yang sedari awal tak pernah kuyakini. Namun mereka tetap saja pongah, meski ketahuan sedikit resah. Sebab, yang penting dapat suara sah, yang penting masih bisa hidup mewah, yang penting dapat kursi, yang penting masih ada harapan untuk korupsi.
Sejak awal, akupun tahu hari itu akan tiba. Hari di mana aku mulai jengah menanti pergerakannya. Hingga pada akhirnya aku mendapat bukti, yang aktif bergerak selama ini bukanlah tubuhnya, melainkan mulut. Mulut yang tak lagi segar atau memang tak pernah segar. Yang sesak dengan argumen-argumen payah dan logika yang goyah.
Jumat lalu kuputuskan turun ke jalan berteriak untuk bumi. Berteriak untuk manusia, satwa, dan tumbuhan yang dikepung hujan asap sebab api. Api yang dinyalakan untuk membakar hutan dan lahan demi kepentingan korporasi. Dan menunggu pemerintah bergerak adalah sebuah hal percuma yang sudah basi.
Bersama teman-teman yang baru saja kukenal dan penuh empati, kami berkreasi di jalan tanpa henti. Lalu kami ambil posisi, dalam barisan long march dari Balai Kota menuju Taman Aspirasi. Kuangkat tinggi-tinggi poster yang kubuat dari tengah malam hingga pagi hari. Aku bangga akan diriku sendiri, sebab aku bisa ikut aksi demi menyelamatkan ibu bumi yang hampir saja mati.
Bersama teman-teman yang baru saja kukenal dan penuh empati, kami berkreasi di jalan tanpa henti. Lalu kami ambil posisi, dalam barisan long march dari Balai Kota menuju Taman Aspirasi. Kuangkat tinggi-tinggi poster yang kubuat dari tengah malam hingga pagi hari. Aku bangga akan diriku sendiri, sebab aku bisa ikut aksi demi menyelamatkan ibu bumi yang hampir saja mati.
Tiga hari kemudian, aksi yang lebih besar di banyak kota kembali terjadi. Kali ini mereka berseru atas nama rakyat Indonesia yang dikhianati. Ratusan poster atau bahkan lebih, telah diangkatnya tinggi-tinggi. Barangkali ada ribuan lebih jumlah mahasiswa yang bergerak, bersiap menagih janji. Menyerukan "Mosi Tidak Percaya" kepada para anggota DPR sang pengkhianat negeri. Jagat dunia maya juga tak absen memberi sanksi. Tagar #RakyatBergerak dan #ReformasiDikorupsi terus menyebar tanpa henti. Pelajar menengah atas pun ikut ambil bagian meski dicaci. Semua demi rakyat, agar perih terobati, agar pasal-pasal ngawur tak jadi pengekang gerak yang selalu mengawasi.
Perjuangan menegakkan keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan harus terus dilestarikan. Sebab, sedikit saja kita lengah, para penguasa negeri akan mudah memenjarakan. Rakyat musnah, penguasa pun menertawakan.
Sumber ilustrasi: Kompasiana |
Kemang,
September 2019
(Tentang: Global Climate Strike dan Demonstrasi Revisi UU KPK, RKUHP, dan RUU kontroversi lainnya.)
No comments:
Post a Comment