24/11/2015

Hujan Turun Lagi...


*lokasi: depan rumahku.

Langit sedang dalam keadaan terang-terangnya. Namun matahari, sedang enggan menyapaku.

Hujan. Turunlah ia, dikawal sang angin yang menyapu daun dari rantingnya. Membuat daun berlari, bergerak kesana-kemari. Menari dengan segala liukannya yang indah. Menjemput sang air dari kerajaannya menuju bumi. Membasahi tanah. Bekerja sama dengan gemuruh bunyi-bunyian langit. Aku membayangkan ada sekawanan tyrannosaurus yang sedang berlomba serdawa besar-besaran. Aku tersenyum, setengah manis, setengah pahit. Belum jatahku untuk bertemu dengannya, mungkin.

Kubuka pintu belakang rumahku. Menikmati sejuknya belaian angin bercampur bau hujan yang membasahi tanah. Sekalipun itu bukan lagi tanah. Tapi aspal. Seharusnya itu tanah. Tetap tanah. Tanah yang bisa menjadi resapan sang air sebelum kembali bertemu dengan penciptanya, pikirku.

Tapi, apa daya. Mereka yang berkuasa. Memberikan titah seolah dari sang dewa kepada manusia. Padahal mereka juga manusia. Manusia yang senang berburu. Layaknya Pithecantropus Erectus, mereka berburu mencari makanan. Mencari nafkah untuk makan dan kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri. Aku jadi teringat Bapak. Bapak kandungku yang sudah berpuluh tahun bekerja untuk menafkahi keluarganya. Aku menyayangimu, Pak. Andai kau tahu. Sekalipun aku yakin. Engkau selalu tahu.

Haaaah, selamat bermain kembali, wahai hujanku. Sudah hampir sebulan ini, engkau datang dan meresap ke dalam pori-pori kulitku. Ataukah memang sudah sebulan? Atau bahkan lebih? Entahlah. Aku lupa. Aku hanya ingat baumu. Bau khas milikmu.

Semoga Kamis segera datang dengan terang. Dan kau bisa kembali ke rumahmu untuk sementara. Ke kerajaanmu. Bermain dengan teman-teman langitmu. Maka, izinkan aku untuk bisa bermain dengan temanku juga, ya. Satu hariiiii saja.

Terima kasih.

Penikmatmu,
-Annisa.

No comments:

Post a Comment