Showing posts with label Beropini. Show all posts
Showing posts with label Beropini. Show all posts

26/09/2019

Reformasi Dikorupsi, Hujan Asap Jadi Saksi

Menunggu adalah kata kerja yang mengganggu. Terlalu banyak menunggu sama saja dengan membiarkan anak cucu kelak terbunuh tanpa ragu. Segala janji yang sedari awal tak pernah kuyakini. Namun mereka tetap saja pongah, meski ketahuan sedikit resah. Sebab, yang penting dapat suara sah, yang penting masih bisa hidup mewah, yang penting dapat kursi, yang penting masih ada harapan untuk korupsi.

Sejak awal, akupun tahu hari itu akan tiba. Hari di mana aku mulai jengah menanti pergerakannya. Hingga pada akhirnya aku mendapat bukti, yang aktif bergerak selama ini bukanlah tubuhnya, melainkan mulut. Mulut yang tak lagi segar atau memang tak pernah segar. Yang sesak dengan argumen-argumen payah dan logika yang goyah.

Jumat lalu kuputuskan turun ke jalan berteriak untuk bumi. Berteriak untuk manusia, satwa, dan tumbuhan yang dikepung hujan asap sebab api. Api yang dinyalakan untuk membakar hutan dan lahan demi kepentingan korporasi. Dan menunggu pemerintah bergerak adalah sebuah hal percuma yang sudah basi.

Bersama teman-teman yang baru saja kukenal dan penuh empati, kami berkreasi di jalan tanpa henti. Lalu kami ambil posisi, dalam barisan long march dari Balai Kota menuju Taman Aspirasi. Kuangkat tinggi-tinggi poster yang kubuat dari tengah malam hingga pagi hari. Aku bangga akan diriku sendiri, sebab aku bisa ikut aksi demi menyelamatkan ibu bumi yang hampir saja mati.

Tiga hari kemudian, aksi yang lebih besar di banyak kota kembali terjadi. Kali ini mereka berseru atas nama rakyat Indonesia yang dikhianati. Ratusan poster atau bahkan lebih, telah diangkatnya tinggi-tinggi. Barangkali ada ribuan lebih jumlah mahasiswa yang bergerak, bersiap menagih janji. Menyerukan "Mosi Tidak Percaya" kepada para anggota DPR sang pengkhianat negeri. Jagat dunia maya juga tak absen memberi sanksi. Tagar #RakyatBergerak dan #ReformasiDikorupsi terus menyebar tanpa henti.  Pelajar menengah atas pun ikut ambil bagian meski dicaci. Semua demi rakyat, agar perih terobati, agar pasal-pasal ngawur tak jadi pengekang gerak yang selalu mengawasi.

Perjuangan menegakkan keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan harus terus dilestarikan. Sebab, sedikit saja kita lengah, para penguasa negeri akan mudah memenjarakan. Rakyat musnah, penguasa  pun menertawakan.

Sumber ilustrasi: Kompasiana



Kemang,
September 2019

(Tentang: Global Climate Strike dan Demonstrasi Revisi UU KPK, RKUHP, dan RUU kontroversi lainnya.) 

02/05/2017

Tentang Islam (part. 1)

Bagiku saat ini, terlalu banyak muslim yang berubah menjadi penebar kebencian yang berisik. Sehingga muslim yang damai dan 'waras' jadi nggak kelihatan. Maka, timbullah seolah-olah semua muslim senang berteriak-teriak menentang perbedaan. Padahal, pada dasarnya nggak begitu. Islam dekat dengan ilmu pengetahuan. Islam sanggup menerima perbedaan. Sayangnya, keindahan itu kini sedikit terlihat.
***

Muslim Sejati, Islam KTP? Zzzzz....

Aku dilahirkan dari perut seorang perempuan muslim Jawa atas kerja samanya dengan seorang lelaki yang menikahinya di usia 23 tahun. Ayahku seorang muslim Jawa yang tidak taat. Berbeda dengan ibuku yang jarang lupa solat lima waktu dan membaca Quran setiap maghrib. Kakakku laki-laki, dulunya ia rajin solat sama seperti ibuku, namun kini sangat jarang aku melihatnya beribadah solat, apalagi mengaji. Hidup di tengah keluarga yang memandang ibadah dengan cara yang berbeda menjadikanku pribadi yang mau belajar menerima segala bentuk perbedaan dan pemaafan.

Pandangan ibuku terhadap ibadah adalah, jika kamu muslim, ya kamu harus solat lima waktu. Namun ayah mengelak. Baginya, buat apa solat jika melakukannya karena terpaksa dan bukan karena ingin? Mungkin, ayahku memang tidak ingin. Atau belum, entahlah. Namun ia tetap percaya Tuhan itu ada. Ia juga kerap mengucap hamdalah sebagai rasa syukur dan selalu menyebut nama Tuhannya tatkala berkegiatan. Ia tetap mengaku seorang muslim karena ia percaya kepada Tuhannya meskipun ia tak pernah melaksanakan solat. Apakah itu salah? Apakah pendapat seorang muslim bahwa ibadah atau kebaikan bisa dilakukan dengan cara lain selain solat itu juga salah? Mungkin, iya. Namun aku tidak ingin berpikir muluk-muluk. Aku hanya belajar untuk menerima segala pendapat selama itu tidak merugikan orang lain. Namun, sejauh mana kita paham bahwa hal yang dilakukan seseorang itu memang tidak akan merugikan orang lain?

Sebagai seorang anak dan seorang muslim yang solat dan tadarusnya pun masih bolong-bolong, aku berusaha untuk tidak membedakan mana muslim sejati dan muslim KTP. Bagiku, muslim ya muslim. Orang yang mengaku beragama Islam, menyebar cinta dan kedamaian, pemaaf, menjaga kebersihan seperti yang diajarkan Quran, tidak melakukan kekerasan dan perbuatan tercela lainnya adalah muslim. Embel-embel kata sejati dan KTP di belakang kata muslim atau islam, hanya akan membuat semakin banyak perbedaan yang membuatnya menjadi keruh. Bukan malah menjadi indah.

Lagipula, ketika kamu menganggap seseorang itu sebagai muslim sejati, apakah kamu yakin, selama hidupnya ia hanya melakukan kebaikan dan tak sedikitpun melakukan keburukan? Begitu juga dengan penghakimanmu ketika menyatakan seseorang itu hanya Islam KTP. Apakah kamu yakin, bahwa keislamannya jauh lebih buruk dibanding keislamanmu yang ternyata masih senang memaki orang lain?

Oh iya, aku menemukan kata-kata muslim sejati di beberapa stiker dan tulisan yang mengajak pada kebaikan dengan cara yang mereka yakini benar. Kata islam KTP sering kudapatkan ketika temanku mengolok temannya yang jarang solat. Sempit.

Pendapatku, jika kamu masih hidup di dunia yang mengejar kesempurnaan akan segala hal, berkacalah. Jika kamu merasa belum sempurna akan hidupmu sendiri, ya kamu nggak perlu mengencangkan otot untuk menyebut orang lain sebagai Islam KTP, terlebih mengaku diri telah menjadi muslim sejati. Sempurna itu adalah jika kamu akhirnya wafat. Itulah kesempurnaan hidup. Wafat. Penutup. Meninggalkan nafsu duniawi.

Kamu tahu kan, Islam juga melarang seseorang untuk ria atau congkak? Katanya muslim sejati, tapi kok masih ria atas dirinya sendiri? Belum lagi dalam hal memaafkan. Yang aku tahu, Nabi Muhammad sangat pemaaf. Tapi kok, kamu yang seolah mengaku muslim sejati nggak bisa memaafkan? Ketika ada orang yang dinilai menista agamamu, dengan kerasnya kamu meminta kepada hukum bahwa orang itu harus dihukum seberat-beratnya. Aku juga sebal sih, jika ada orang yang sok tahu menafsirkan agamaku dengan cara pandangnya yang mungkin salah. Tapi, orang itu kan sudah minta maaf. Sudah menerima kehadiranmu dan pasukanmu dalam aksi yang kamu gelar berkali-kali. Kenapa tidak kamu maafkan saja sebagai tanda bahwa kamu adalah muslim sejati yang sanggup memaafkan sekalipun kamu terluka? Oh iya, apa ada dari dirimu atau keluargamu yang terluka secara fisik atau batin dan membuatnya menderita lalu tersiksa? Kalau tidak, ya nggak usah berlebihanlah. Tuhan saja Maha Pengampun, masa kamu nggak mau mengikuti perintahnya?

Lagipula, apakah kamu tahu apa yang sedang kamu perbuat? Ataukah kamu cuma ikut-ikutan sahabatmu saja tanpa tahu apa yang mestinya kamu bela dan dengan cara apa sebaiknya kamu membela apa yang kamu yakini itu?

Kalau kamu ingin membela agamamu, sebaiknya, gunakanlah cara yang cerdas. Misalnya--ini pendapatku saja loh ya, bela agamamu dengan menunjukkan bahwa agamamu mengajarkan segala bentuk kebaikan. Mengajarkanmu untuk memaafkan. Mengajarkanmu untuk berdamai. Mengajarkanmu untuk menerima perbedaan. Mengajarkanmu untuk menjauhi kekerasan dan menjunjung tinggi keadilan. Dan menunjukkan bahwa setiap manusia itu sama rata di hadapan Tuhan. Itulah makna Islam yang kuyakini sebagai seorang muslim, hanya muslim tanpa embel-embel apapun.

Dan bukankah guru mengajimu di masa kecil pernah mengatakan, bahwa agamamu mengajarkan kita untuk memaafkan dan menerima segala bentuk perbedaan? Oh, mungkin guru kita berbeda.

Terima kasih.


*lupakan pendapatku ini jika kamu tak ingin, atau jika Tuhanmu adalah nilai, uang, dan kekuasaan. :)

11/02/2016

Harap Reinkarnasi Menjadi Orangutan-Lindungi Orangutan

*foto: Ibu Orangutan dan anaknya di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan

Jika suatu saat aku ditanya, ingin menjadi apa di masa yang akan datang? At least, di masa setelah aku mati dan kemudian hidup kembali alias bereinkarnasi (hehehe), aku ingin menjawab menjadi seekor orangutan.

Kenapa orangutan? Karena, berdasarkan informasi yang aku dapat dari artikel di media sosial, orangutan adalah spesies kera besar (bukan monyet) yang berfungsi sebagai pemelihara hutan. Ia meregenerasi hutan dengan cara membuang biji tumbuhan yang ia makan, dan menyebarkannya di tanah hutan. Lalu, tumbuhlah pohon-pohon yang dapat memenuhi kebutuhan hutan dan berbagai macam spesies hewan yang tinggal dalam hutan. Tidak hanya hutan dan hewan, bahkan kebutuhan manusia pun juga terpenuhi. Satu aksi orangutan, banyak hasil yang bisa dimanfaatkan.


Orangutan merupakan saudara dari simpanse dan gorilla, yang berada dalam spesies kera besar. Orangutan hanya hidup dan tinggal di hutan Kalimantan dan Sumatera, Indonesia. Orangutan Kalimantan bernama latin Pongo Pygmaeus, sedangkan orangutan Sumatera bernama latin Pongo Abelii. Orangutan masuk dalam ordo Primata, dan famili Hominidae. Ia hidup menyendiri atau soliter, sehingga tidak tinggal secara berkelompok.

Orangutan gemar sekali memakan kulit pohon, buah-buahan hutan, dan beberapa jenis serangga. Tak jarang, ketika ia memakan buah, biji buah tersebut ia buang secara sembarang di atas tanah hutan. Kemudian, tumbuhlah benih-benih pohon yang kelak menjadi pohon-pohon besar, yang berfungsi sebagai tempat tinggal berbagai macam spesies hewan. Hewan-hewan tersebut tidak hanya tinggal, namun ada juga yang sekadar singgah, atau bermalam. Hebatnya, atas kelakuan orangutan itu, pohon-pohon besar yang kelak dihasilkannya, juga menjadi penyumbang terbesar oksigen bagi manusia dan makhuk Tuhan lainnya yang membutuhkan.

Nah, secara filosofis, manfaat orangutan bagi manusia itu banyak sekali. Beberapa di antaranya, manusia bisa berkaca dari tingkah laku orangutan, yang memiliki DNA sekitar 97% hampir sama dengan manusia. Dengan begitu, manusia seharusnya tidak bersifat sombong, karena tingkah lakunya pun yang terkadang mirip hewan. Manusia seharusnya bisa menghargai setiap makhluk hidup, terutama hewan dan tumbuhan. Tidak selayaknya mereka memusnahkan sesama makhluk hidup. Seharusnya manusia sadar, mereka sama dengan dirinya sendiri, yaitu makhluk yang hidup. Bukan benda yang mati. 


Sayangnya, atas kesalahpahaman beberapa masyarakat yang menganggap orangutan sebagai ancaman, banyak sekali terjadi perburuan liar atas orangutan. Tidak hanya dianggap sebagai ancaman yang harus dimusnahkan, tengkorak orangutan juga dimanfaatkan sebagai cinderamata dan kerajinan tangan. Dagingnya pun juga dimakan. Para pemburu terlebih dahulu membunuh induk orangutan, kemudian menangkap anaknya, lalu menjualnya kepada pihak yang tidak bertanggung jawab. Hingga akhirnya populasi orangutan menjadi langka dan terancam punah.

WWF Indonesia dalam websitenya mengabarkan, bahwa populasi orangutan Kalimantan menurun hingga 55% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Menyisakan sekitar 57.000 individu orangutan di Kalimantan, dan sekitar 7.500 individu orangutan di Sumatera. Semakin miris ketika aku mengetahui bahwa status populasi orangutan Sumatera sudah mencapai tingkat "sangat terancam punah". Belum lagi jika ingat tragedi asap Riau atas kebakaran hutan pada September 2015 lalu, yang mencapai status keadaan darurat, dan sangat mengancam habitat orangutan Sumatera. Disusul kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan, yang makin mengancam habitat asli orangutan Kalimantan.


Selain perburuan liar dan kebakaran hutan, penyebab lain punahnya orangutan adalah alih fungsinya hutan menjadi lahan kebun kelapa sawit, yang hasilnya, yaitu minyak goreng yang masih sering kita konsumsi sehari-hari, bahkan menjadi salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan manusia. Juga perubahan iklim yang tak menentu, yang mengakibatkan habitat orangutan menjadi kurang nyaman.

Sebaiknya, manusia menyadari, bahwa kehadiran orangutan di hutan Kalimantan dan Sumatera juga dapat mengobati rasa rindu manusia akan rumah. Paling tidak bagiku. Meski belum pernah sekalipun aku mengunjungi habitat asli mereka di hutan Kalimantan dan Sumatera, melalui tempat tinggal mereka di kebun binatang Ragunan Jakarta, terbukti mengobati rasa rindu dan bersyukurnya aku menjadi manusia. Manusia yang seutuhnya manusia, tanpa ditempeli label apapun. Orangutan yang tampak cerdas. Orangutan yang matanya berisi variasi emosi yang siap membuatku jatuh hati, ketika pertama kali melihatnya secara langsung di Ragunan. Sayangnya, getaran "merasa dikurung" bisa aku rasakan ketika melihat orangutan yang ada di kebun binatang. Karena aku yakin, orangutan akan lebih bebas dan bahagia jika tetap tinggal di habitat aslinya. Di hutan Kalimantan dan Sumatera.

Seperti manusia yang selalu ingin dapat bebas berekspresi, aku yakin, orangutan pun juga sama seperti itu. 

Doaku hari ini: Semoga aku bisa lekas menjenguk saudaraku, orangutan, di hutan Kalimantan dan Sumatera. Amin.

Save orangutan, save yourself!

*sumber: WWF Indonesia, manfaat.co.id