18/12/2018

Bertemu Akbar

Kala itu Akbar adalah laki-laki yang tak jelas apa maunya. Akbar datang melalui Rizky, teman kuliahku yang pada saat itu sedang baik-baiknya menjalani hidup yang tak baik-baik saja. Akbar adalah seorang anak laki-laki yang susah menjelaskan apa kemauannya. Akbar tak pandai berbicara. Akbar hanya pintar mengeluarkan kata-kata yang baginya sampah, tapi malah menjadi bahan tawa anak-anak sekumpulannya. Akbar kemudian menggandengku bersama dengan Leo, yang pada saat itu sedang kasmaran dengan perempuan yang saat ini menjadi istrinya. Leo adalah lelaki yang baik namun tidak sepenuhnya baik. Leo kerap mendekati orang-orang dengan cara klisenya, ia mengaku bisa meramal masa depan seseorang melalui penerawangan garis tangan. Celakanya, manusia-manusia yang terkena jebakan Leo itu didominasi oleh perempuan. Untungnya, Ria yang saat itu menjadi kekasih dan kini menjadi istri Leo bisa mafhum, ya mungkin saja sesekali Ria merasa mangkel, karena Leo kerap akrab dan ikrib bersama teman-temannya yang kebanyakan perempuan. Maklumlah, bagaimanapun tetap Ria-lah yang merasa paling berhak atas Leo. Karena, ya, pada saat itu mereka adalah sepasang kekasih yang sehidup tapi belum tentu semati. Terlebih, Ria kini telah resmi menjadi istri Leo dan sekaligus menjadi Ibu dari anak Leo yang sungguh menggemaskan, namanya Adin.

Cukup cerita tentang Leo, sebab sejatinya aku ingin menuliskan kisah pertemuan dan pertemananku dengan Akbar, yang meskipun tetap ada Leo-Leo-nya di dalamnya. Jadi, ketika Akbar dan Leo menggandengku sebagai teman akrab, kala itu kami memberi nama geng kami dengan sebutan Palugada. Akronim dari sebaris kata-kata "Apa Aja Lu Mau Gw Ada". Sayang, kisah manis persahabatan kami kandas di tengah jalan. Dan hanya bisa bertahan kira-kira dua semester saja. Kesibukan kami akan cita dan cinta yang menjadi penyebab runtuhnya persahabatan kami. Hingga pada suatu ketika, Akbar menemaniku menunggu hujan yang tak kunjung reda. Kami makan bubur ayam khas Bang Gonds berdua saja. Saat itu, instagram tak sepopuler kini. Sehingga aku tak perlu menghabiskan waktu hanya untuk update tentang hujan, update tentang bubur, dan update tentang Akbar yang saat itu sangat setia menemaniku.

Entah sampai kapan.

Kukira, mungkin hingga Akbar berhasil menemukan cinta sejatinya. Pun ia harus bersiap untuk bahagia, lalu merasa sakit, lalu trauma, dan mungkin juga kisah cintanya nanti tak akan mulus-mulus amat. Akan tetapi, aku selalu mendoakan segala yang indah untuknya. Ya, meskipun takdir tetap di tangan Tuhan. Begitulah orang-orang tua berkata.

Oh iya, ada satu lagi hal yang kukagumi dari Akbar. Ia suka pergi tiba-tiba dan datang tiba-tiba. Seperti pada saat itu. Selepas magrib, Akbar mengajakku ngopi, juga secara tiba-tiba. Aku yang ketika itu baru saja tiba di rumah sepulangnya dari bekerja yang membuatku sadar dan bangga bahwasanya aku tetaplah seorang buruh yang lelah, tiba-tiba menerima pesan singkatnya melalui ponsel pintarku. Kukira ada masalah berat apa, sehingga Akbar memintaku untuk bertemu sesegera mungkin. Ternyata, pada pesan-pesan berikutnya, ia berkata, "Nus, cepatlah. Gw butuh hiburan neh, puyeng pala gw. Lu temenin gw ngopi. Tapi, gw sambil nyelesaiin kerjaan gw, ya. Cari tempat ngopi yang enak. Jauh dari kemacetan," tutupnya.

Manusia yang satu itu memang benar-benar senang melakukan hal sesuka hati.

Untungnya, saat itu ia bersedia untuk menjemputku di rumah. Sebab, aku sedang malas sekali jika harus diboncengi abang ojol dan meladeni obrolannya. Aku sedang benar-benar capek. Lalu, dengan bekal beberapa referensi tempat ngopi enak nan murah, akhirnya pilihan kami jatuh pada KFC. Oh! Bersyukurlah kamu-kamu sekalian yang bisa ngopi di kafe-kafe mahal yang menjajakan kopi 40-60 ribu rupiah per gelasnya. Sebab sesungguhnya, kami tak sanggup. Mungkin saja sanggup, tetapi kami tak ingin. Begitu meditnya kami dengan hal-hal semacam itu. Tapi, itulah yang membuat kami menjadi lebih bijak dan bajik menghadapi segala hal yang memusingkan dan menekan pikiran serta perasaan kami di manapun kami berada.

Tapi, Akbar memahami itu. Akbar memahaminya dalam diam.

Akbar akan selalu ada di balik kameranya. Membidik orang-orang yang layak diberi perhatian dan karunianya. Akbar akan selalu ada, dengan segala ketidakjelasannya yang kelak akan menjadi mungkin. Untuk itulah,

aku ingin mengucapkan dua kata klise yang selalu aku suka.

Selamat berbahagia, Ak(b)ar.

Sesungguhnya, kata-kataku tak akan pernah cukup untuk menggambarkanmu. Ya, siapapun pasti sudah tahu itu.

-catatanku sebelum bekerja, Kemang, Jakarta Selatan.

No comments:

Post a Comment