24/11/2017

Masih Ada Senja di Ibu Kota

Senja dari jembatan penyeberangan Stasiun Lenteng Agung

Aku cukup berbahagia ketika tahu kekasihku tak jadi marah. Belum usai kebahagiaanku sore itu di kereta, keluar dari stasiun aku disambut banyak jajanan yang membuat mata dan perutku lapar. Sungguh, lapar yang ganda. Belum juga usai mataku mengunyah tampilan menarik otak-otak dan tahu gejrot, kali ini rasa dalam hati dan pikiranku yang dibuat kenyang oleh matahari yang mengumpat malu-malu dalam senja yang megah nan indah dari balik jembatan penyeberangan yang sudah amat sangat tua ini.

Sungguh, kurasakan hari ini Tuhan amat sangat berbaik hati dan bersekutu denganku.

Aku hampir-hampir tak peduli ketika puluhan manusia yang lalu-lalang di samping kanan, kiri, depan, dan di belakangku. Aku terhanyut akan keindahan yang jarang sekali aku temukan di tengah ibu kota yang pahit ini. Pahit dengan muka-muka manusia yang jarang tesenyum apalagi tertawa. Pahit akan debu yang berseru ketika diinjak kaki-kaki manusia yang selalu berjalan amat sangat cepatnya. Pahit akan realita kemacetan dan banjir yang hiruk-pikuk dan layak dikutuk-kutuk.

Namun, apa boleh buat. Jakartaku tempatku berlindung dari sengitnya pertempuran ego di segala tempat. Sungguh, setiap manusia itu memang mengerikan. Tak terkecuali aku.


-Kemang, 23 November 2017

No comments:

Post a Comment