04/02/2016

Perjalanan Tentang Buku 1

foto: Ayo membaca buku! Hei, ini koleksi bukuku, loh!

Buku. Meski nggak terlalu banyak pengalamanku berkawan dengan buku, tapi paling tidak ada beberapa 
buku yang aku rasa tepat untukku. Layaknya bermeditasi, buku mengajakku mendalami ruang sritiual yang mungkin baru aku sadari keberadaannya ketika aku sedang membaca buku. Diajaknya aku berjalan-jalan mencicipi segala macam pengalaman, lalu menganalisisnya, memberikan kesimpulan, memecahkan kerumitannya, kemudian memahami, hingga pada fase tertinggi, dengan rasa kelegaan luar biasa, aku seolah diajak untuk melepas segala pemikiranku. Meleburkan pikiran dan sudut pandangku terhadap realitas dunia yang terus hidup--bahkan ketika kehidupan itu dikatakan telah mati.

Aku mengenal buku, atau lebih tepatnya mengenal kegiatan membaca buku pertama kali, adalah pada saat aku mengaji di sebuah TPA, di daerah Bangka, Jakarta Selatan. Saat itu usiaku menuju tahun kelima. Aku mendapat dua buah buku hadist dan cerita anak, setelah aku mengikuti kegiatan membaca puisi di suatu acara pengajian anak-anak, yang dihadiri pula oleh masing-masing orang tuanya.

Judulnya "Puisi Bismillah". Namun, aku telah lupa isinya. Hanya euforia tawa dan tepuk tangan para anak dan ibu-bapak yang hadir, yang lantas selalu aku kenang dan membuatku selalu bersemangat untuk membaca puisi di panggung. Tak berlangsung lama, kegiatanku membaca puisi atau ikut lomba puisi berhenti saat aku duduk di bangku SMA. Aku lebih memilih kegiatan olahraga basket dan fotografi untuk mengisi waktu luangku. Tapi, tetap tidak membuat surut kegiatan membacaku.

Memasuki Taman Kanak-kana, aku mulai gemar membaca cerita rakyat, cerita para nabi, dan buku saku dongeng yang kudapatkan ketika ibu membeli sekotak susu bubuk untuk kakakku. Yap, buku saku dongeng itulah hadiahnya. Betapa beruntungnya aku. Kakakku yang meminum susu, aku yang membaca dongeng. Kakakku mendapat tambahan gizi, aku mendapat tambahan ilmu. Sekadar informasi, bukan karena ibuku tak mampu beli susu untuk kedua anaknya, namun, dulu itu aku sangat malas minum susu. Aku lebih cinta teh hangat dalam botol dotku ketimbang susu. Hehehe...

Enam tahun perbedaan usiaku dengan kakak, membuatku beruntung karena aku tak kehabisan bahan bacaan. Segala macam buku pelajaran yang kakakku punya, selalu aku pinjam. Entah hanya untuk dibaca sembarang, atau untuk aku corat-coret saja. Hingga akhirnya, kegiatanku membaca meluntur menjadi gemar menulis. Menulis apa saja. Meski bukan menulis cerita atau hal penting, namun itu bukan soal. Aku gemar sekali menulis surat, terutama ketika aku dan kakakku akhirnya berpisah. Kakakku bersekolah di kampung hingga tamat SMP. Aku melanjutkan sekolah di Jakarta. Kegiatan saling mengirim dan membalas surat, menjadi kegiatan yang selalu kutunggu.

Beranjak remaja, aku diajak menonton film Ada Apa Dengan Cinta? oleh kakakku. Buku "Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar" karya Sjumandjaja, ayah dari Aridya Yudistira, Sri Aksana atau Aksan Sjuman, dan Djenar Maesa Ayu, telah menarik perhatian beberapa remaja yang menonton film itu. Salah satunya aku. Bukan karena buku itu dibaca oleh Rangga dan Cinta, tapi lebih karena ada nama Chairil Anwar, penyair pertama yang aku kenal sebelum WS. Rendra, yang menjadi alasanku tertarik membaca buku itu. Menuju ulang tahunku yang ke-14, kakakku menjanjikan untuk membelikannya sebagai hadiah ulang tahunku. Aku senang bukan main.

Nama Chairil Anwar sering aku dapati dari buku pelajaran Bahasa Indonesia, sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Beberapa baris dari salah satu sajaknya sering menjadi pertanyaan pada lembar soal yang kukerjakan. Seperti sepenggal bait dalam sajak Diponegoro,

"Di depan sekali tuan menanti
 Tak gentar, Lawan banyaknya seratus kali.
 Pedang di kanan, keris di kiri
 Berselempang semangat yang tak bisa mati."

Atau sepenggal bait dalam sajak Chairil yang berjudul Sajak Putih,

"bersandar pada tari warna pelangi
 kau depanku bertudung sutra senja
 di hitam matamu kembang mawar dan melati
 harum rambutmu mengalun bergelut senda"

Bukan hanya itu, masih banyak lagi, hingga akhirnya aku teramat hafal dengan nama Chairil Anwar, dan menjadikannya sebagai penyair pertama favoritku. Buku kedua yang kumiliki sendiri adalah Aku Ini Binatang Jalang Koleksi Sajak 1942-1949 karya Chairil Anwar, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, dan diedit oleh Pamusuk Eneste. Sejak saat itulah, aku menjadi semakin gemar membaca.

Betapa menyenangkannya ketika aku menemukan sebuah buku yang aku rasa tepat untukku. Aku jarang mempersoalkan buku yang baik, buku yang bagus, atau buku yang seru. Aku lebih tertarik dengan buku yang aku rasa tepat untukku. Entah tepat karena cerita yang dituliskan hampir sama dengan apa yang sedang aku rasa, atau tepat waktu membeli dan membacanya.

Aku juga senang membeli buku, beserta proses mendapatkan buku itu. Tak jarang, aku meminjam buku yang menarik perhatianku kepada teman, lalu kalau ada uang lebih, aku akan membelinya di toko buku. Memiliki buku lebih menyenangkan ketimbang meminjam buku, bagiku. Aku senang sekali menandari aksara-aksara atau kalimat favoritku dalam setiap buku, dengan menggunakan textliner, highligter, pulpen, atau pensil. Kalau meminjam buku, aku tidak bisa bebas menggarisi, mencoreti, atau menandai aksara dan kalimat favoritku itu, kan. Hehehe...

Ah, nggak ada habisnya deh, kalau membicarakan tentang buku. Sementara, sampai di sini dulu, ya. Akan kulanjutkan cerita perjalanan tentang buku di ruang dan waktu selanjutnya.

Terima kasih, bagi yang sudah mau membaca. Aku ngantuk.

Selamat malam, Para Penghuni Semesta!

No comments:

Post a Comment