13/07/2016

Remang yang Kukuh

Kukuh

Sudah puluhan hari dan keremangan itu semakin menjadi. Ada keanehan luar biasa yang menggelayut dari atas kepalaku. Menggantung-gantung dan menempel geli seperti delapan lengan gurita. Aku menyebutnya sebagai monster kepala. Kenapa? karena ia hanya muncul ketika aku sedang berpikir keras. Aku mengaku kreatif namun kelewat idealis. Aku senang mencipta dan mengerjakan segala sesuatu atas kehendakku sendiri. Bukan aku namanya kalau gemar dipimpin dan diatur. Eits, ini hanya dalam perihal berkarya loh, ya. Bukan dalam rumah tangga. Jujur, aku senang ketika Mas Angin berkuasa atasku. Ketika Mas Angin memimpinku berharap dan berdoa. Namun, bukan doa pagi yang pernah ia tulis dalam satu halaman, yang ditujukan untuk pujaannya di masa lalu. Hihiiii.............

Aku tidak bisa mengendalikan pergerakannya yang luar biasa cepat. Hingga aku harus terbaring lemah, dan hanya ingin memeluk dekap gulingku. Dan hanya ingin dipeluk erat selimutku. Dan hanya ingin merebahkan kepala berlengan gurita di atas bantalku. Kenapa susah sekali aku bersyukur atas segalanya? Bahkan di luar sana, kemarin, kulihat ada dua orang anak laki-laki yang harus memikul tumpukan cobek dan uleknya demi mendapat cetak kertas yang dipuja dan ditaksir hampir semua orang.

Temanku, Bulan, pernah bilang secara intim kepadaku, bahwa dia tak suka kehidupannya yang dianggap kebanyakan orang sangat mudah mendapatkan apa yang dia suka. Dia ingin dicap mampu, bukan beruntung. Dia ingin menjadi lebih, bukan tetap. Dia ingin... Ah! aku tahu, Bulan, namun bumi tak selamanya membiarkan mereka memujamu. Akan tiba waktunya apa yang kamu inginkan terwujud menjadi nyata. Seperti yang selama ini kamu dapatkan. Namun pada akhirnya, aku percaya, bahwa kebaikan akan selalu kembali kepada kebaikan, meski harus bertemu dulu dengan keburukan. Baik dan buruk. Dua hal yang mereka bilang relatif, Bulan. Padahal, itu hanya pembenaran. Dan setiap manusia sudah ditugaskan untuk membuat pembenarannya masing-masing. Kalau tidak? bisa saja hidup mereka akan jauh lebih buruk atau malah lebih diasingkan.

Seperti hari yang menyusut menjadi hari yang datang berikutnya. Hari esok. Sungguh, aku tak peduli. Aku adalah manusia biasa yang hanya mencintai hari ini. Bukan melulu mendamba hari esok. Kecuali, hari ketika aku dijanjikan untuk bertemu dengan segala yang aku cinta. Termasuk Mas Angin, keluargaku, kamu, dan mereka yang layak aku cinta. Nah, kalau hari esok telah menyusut menjadi hari ini, aku seolah tak akan pernah peduli lagi ketika hari ini akan menyusut menjadi hari esok, dan seterusnya. Padahal, aku tahu, aku berjalan dan tetap hinggap. Hari ini, esok, dan seterusnya adalah hari yang berisi 24 jam. Sama. Hanya pikir dan rasanya saja yang membedakan dan memberi arti.

Sekali lagi, aku bukan pendamba, aku hanya penikmat.

Baru kali ini, aku mengotakkan diriku sebegitu kukuh.

No comments:

Post a Comment