27/05/2017

Chairil Anwar: Bohemian Kurus yang Tak Terjinakkan

Chairil Anwar memang tak akan pernah bisa dijinakkan. Karyanya selalu liar. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu orang ke orang lain. Buah pikirannya itu berlarian bebas dan takkan dapat dihentikan. Bahkan ketika tifus, sakit paru-paru, infeksi, dan usus pecah sanggup menyetop impiannya untuk hidup seribu tahun lagi.

***
Chairil yang kurus, bermata merah, dan perokok berat adalah si kutu buku yang gelisah. Segala kegelisahannya itu ia tulis dalam sajak-sajaknya yang tak pernah mati sekalipun ia sudah. Bukan melulu tentang semangat nasionalisme, tapi juga cinta. Tak hanya itu, kekaguman akan semangat mereka yang sedang berjuang, juga dituliskannya dalam kata-kata yang lantang meski dalam suasana yang muram. Laiknya cahaya api yang tentu memancar dalam gelap, sajak-sajak Chairil juga menyala terang dalam kelamnya keadaan.

Chairil lahir dari pernikahan sah antara Toeloes bin Manan dan Siti Saleha. Karakter ayah dan ibu Chairil sama-sama keras. Keduanya berpisah dan ayahnya menikah lagi dengan Syariah Ramadana. Dikutip dari Seri Buku Tempo Edisi Chairil Anwar, menurut Sjamsulridwan, Chairil tidak dapat menerima pernikahan kedua itu. Chairil kecewa dan memutuskan untuk pindah ke Jakarta bersama ibunya yang masih patah hati atas pernikahannya yang berakhir. Di Jakarta, Chairil dan ibunya menumpang di rumah Sutan Sjahrir, paman Chairil dari keluarga ibunya.

Ketika masih kanak-kanak hingga usia remaja, Chairil selalu dihujani perhatian yang tak habis-habis dari orang-orang di sekitarnya. Kehidupan Chairil selalu dimanjakan dan dicukupi. Chairil lantas tumbuh menjadi anak yang keras kepala. Untungnya, ayah Chairil menuruni sifat gemar membaca kepada anak kesayangannya itu. Di samping menjadi anak yang serba berkecukupan, Chairil juga mencintai buku. Ia menjadi si kutu buku, seorang flamboyan yang berhasil menggaet gadis-gadis cantik di sekolahnya. Kepindahannya ke Jakarta itu berarti mengawali penghentian jatah uang dari ayahnya.

Saking bergantungnya kepada buku, hidup luntang-lantung di Jakarta tak boleh membuat Chairil berhenti membaca. Ia harus tetap memenuhi kebutuhan membacanya meski dengan mencuri. Keahliannya mencuri dimanfaatkannya untuk mengambil beberapa buku dari toko Van Dorp yang menjual buku-buku bagus pada zaman itu. Sempat mengutang pada sastrawan dan wartawan Mochtar Lubis, Chairil tak pernah menggantinya dengan uang. Melainkan, melunasi utangnya dengan buku-buku hasil curian dari Van Dorp. Bahkan, Mochtar Lubis hafal betul dengan keahliannya itu. Namun, pernah juga suatu hari Chairil tertangkap basah dan disiksa oleh Kenpetai (polisi Jepang) ketika ia ketahuan mencuri cat putih yang akan diberikannya kepada Sudjojono untuk keperluan melukis dirinya.

***
Chairil memiliki sifat yang berubah-ubah dan menjadikannya tak tetap pendirian. Ia sempat bekerja kantoran, namun tak lama. Hanya sekitar dua atau tiga bulan ia ngantor. Chairil lebih sering tidak masuk saat bekerja. Mungkin jiwanya memang bukan untuk dikungkung dan siap menerima apapun perintah atasannya. Mungkin itulah jua suatu petunjuk bahwa Chairil ingin terus terbang bebas berkarya meski sendiri dan menderita.

Sesungguhnya Chairil tak pernah hidup sendirian. Ia dikelilingi banyak teman sesama sastrawan, seniman, dan wartawan yang menyenangkan dan memahaminya. Mereka bahkan sempat mengantar kepulangan Chairil ke liang lahat di usianya yang ke 27. Beberapanya juga menjadi saksi ketika Chairil harus merasa kesakitan dan menderita melawan penyakit yang memaksanya mengutang, untuk membayar satu suntikan dokter selama seminggu.

Para pelukis rakyat seperti Affandi, S. Sudjojono, Nashar, Basuki Resobowo, Nasjah Djamin, Sam Soeharto, Tino Sidin, dan Daoed Joesoef adalah teman-teman baiknya. Juga beberapa teman dekat dari kelompok seniman Gelanggang, seperti Mochtar Apin, Baharudin Marasutan, Asrul Sani, dan Henk Ngantung. Tak lupa sastrawan Hans Bague Jassin, serta wartawan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis yang juga pernah menjadi pelanggan buku-buku curiannya.

Persahabatan Chairil dengan H.B. Jassin adalah suatu keyakinan tanpa batas. Kerap Chairil mengirimkan surat kepada dan hanya untuk Jassin, yang berisi cerita tentang perjalanannya mengembara yang tak stabil, seperti yang ditulis Sjuman Djaya dalam buku Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar. Ternyata, bukan hanya berisi cerita, namun kertas-kertas itu juga berisi corat-coret tangan Chairil, fragmen puisi yang belum kelar, puisi-puisi yang belum diterbitkan, juga beberapa terjemahan puisi. Kepada Jassin-lah, Chairil memberi kepercayaan tentang isi hati dan pikirannya.

Tak melulu kukuh, persahabatan Chairil dan Jassin juga pernah goyah. Jassin pernah kecewa ketika ia tahu bahwa Chairil menjiplak sajak dari penyair Cina, Hsu Chih-mo, yang kemudian diterjemahkan menjadi "Datang Dara Hilang Dara". Mereka berdua lalu bertengkar dan saling mencibir. Lalu, dug! Jassin meninju Chairil hingga terpelanting. Usai perkelahian itu, nampaknya Chairil berlatih angkat besi agar bisa membalas tinjuan Jassin. Namun, yang terjadi selanjutnya bukanlah perkelahian babak kedua, melainkan kedatangan Chairil kepada Jassin dan berkata, "Jassin, aku lapar..." (dalam Buku Seri Tempo Edisi Chairil Anwar).

Teman-teman Chairil amat mafhum dengan karakter bandel kawannya yang satu itu. Chairil yang sesuka hati. Chairil yang dengan seenaknya pernah menjual pakaian Tino Sidin dan menggunakannya untuk mentraktir Tino makan. Juga Chairil yang keluar-masuk rumah dan kantor H.B. Jassin sesuka hati lalu langsung menyambar nasi di dapurnya. Chairil yang tetap memesona.

***
Di balik perawakannya yang ringkih, bermata sayu namun kuat, serta rambut yang berantakan, pesona Chairil tetap tak terbantahkan. Beberapa nama perempuan seperti Sumirat, Dien Tamaela, Ida Nasution, Sri Ajati, Gadis Rasjid, Karinah dan Tuti, pernah singgah dan menjadi persembahan dalam sajak-sajak cinta dan kekaguman, sebelum ia akhirnya menikah dengan Hapsah.

Chairil pernah menggubah sajak berjudul "Senja di Pelabuhan Kecil" dan "Hampa" yang diberikannya untuk Sri. Kepada Karinah, Chairil membuat sajak berjudul "Kenangan". Sementara itu, Ida adalah perempuan pertama yang namanya disebut dalam beberapa sajaknya, seperti "Ajakan", "Bercerai", "Merdeka", dan "Selama Bulan Menyinari Dadanya."

Kepada Sumirat cinta sejatinya, Chairil mengirimkan beberapa sajak yang berjudul "Sajak Putih", "Mirat Muda, Chairil Muda", dan "Yang Terampas dan Yang Putus." Lalu, ada tiga nama gadis lain, yaitu Gadis Rasjid yang namanya disebutkan Chairil dalam sajak "Buat Gadis Rasid", kemudian Tuti dalam puisi berjudul "Tuti Artic". Sahabatnya, Dien Tamaela juga pernah disebutkan namanya oleh Chairil dalam sajak "Cerita Buat Dien Tamaela".

Sebenarnya, ada juga sebuah fragmen dari puisi yang belum jadi yang ditulis Chairil untuk istrinya, Hapsah. Tulisan itu berjudul "Fragmen Buat H" yang dititipkan Chairil kepada Jassin. Jassin lantas menyebutnya sebagai terjemahan dari karya Conrad Aiken.

Tentunya, dalam setiap pertemuan Chairil dengan para gadis telah menciptakan sebuah kisah yang akan terus dikenang. Chairil pertama kali bertemu Sri, gadis yang penuh daya pikat itu pada 1942 di Hoso Kyoku, radio Jepang yang kemudian adanya Radio Republik Indonesia. Di tempat bekerjanya itulah, Sri sering menjumpai Chairil.

Karinah Moordjono adalah putri seorang dokter di Medan. Chairil mengenalnya ketika ia masih tinggal di Medan dan sebelum pindah ke Jakarta. Gadis Rasjid dikenal Chairil ketika Gadis menjadi wartawan untuk surat kabar Pedoman. Gadis sendirilah yang meminta Chairil membuatkannya sajak. Uniknya, Gadis meninggal tepat pada tanggal kematian Chairil namun di tahun yang jauh berbeda. Sementara itu, Chairil pertama kali Tuti di sebuah toko es krim bernama Toko Artic.

Chairil yang berantakan dan bermata merah karena sering begadang, juga sempat dekat dengan Ida Nasution. Perempuan yang usianya lebih muda dari Chairil dengan cintanya yang menggairahkan. Sayang, Ida malah meremehkan dan menyebut Chairil sebagai manusia yang tidak karuan.

Berbeda dengan gadis-gadis lainnya, Sumirat, kekasih Chairil sekaligus perempuan yang paling membuatnya patah hati, justru melihat Chairil dalam pandangannya sendiri. Bagi Sumirat, Chairil adalah lelaki yang berpenampilan rapi dan menarik. Menurutnya, meski Chairil tidak mandi tubuhnya tidak akan berbau. Sikap masa bodoh Cril--panggilan sayang Mirat kepada Chairil--itu yang membuatnya tertarik. Setelah bertemu dan menjalin kasih, keduanya bersama membangun dunianya sendiri. Meski datang dari dua dunia yang berbeda, Chairil dengan dunia tulisannya dan Mirat dengan dunia lukisannya, keduanya sanggup menyatukan cinta yang sesungguhnya abadi.

Namun sayang, ayah Mirat tidak menyetujui hubungan Chairil dan cinta sejatinya itu, dengan alasan Chairil belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Akhirnya mereka berpisah. Ialah Sumirat, gadis asal Jawa Timur yang sanggup melihat Chairil secara berbeda. Ia sanggup menerima kebinatangjalangan Chairil dan juga sanggup membuat hati dan pikiran Chairil gelisah. Hingga akhirnya, Cril yang dicintainya itu memutuskan untuk menikahi Hapsah. Meski kemudian bercerai, pernikahan Chairil dan Hapsah menghasilkan satu anak yang bernama Evawani Alissa.

***
Sang bohemian yang terkenal dengan pose mengapit rokok di sela jarinya itu wafat pada 28 April 1949. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta, sesuai dengan keinginannya yang ia tulis dalam sajak "Yang Terampas dan Yang Putus":
...
Di Karet, di Karet (daerahku j.a.d) sampai djuga deru dingin
...

*j.a.d adalah singkatan dari jang akan datang.

Chairil telah mati, namun karyanya abadi. Takkan pernah terjinakkan dan akan terus hidup, seribu tahun lagi.


Referensi:
1. Seri Buku Tempo Edisi Chairil Anwar Bagimu Negeri Menyediakan Api
2. Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar

No comments:

Post a Comment