21/09/2017

Aku Mice…


Hari ini Minggu, hari yang biasanya aku benci karena besok harus ngantor dan bertemu para budak sanjungan. Tapi untungnya dua tahun telah berlalu. Hari Minggu ‘itu’ telah berlalu.
Sebelum membaca kelanjutan kisah ini, pesanku adalah… maaf, jika aku tiba-tiba berubah menjadi mengerikan bagi kalian. Setidaknya, untuk orang-orang yang gemar menyumpah-serapahi perempuan jadi-jadian sepertiku.
***
“MICEEEE!!! Ayo, berangkat! Ditunggu Mamih!” panggil Kanti, perempuan jadi-jadian kedua dalam cerita ini.
“Bentaaar. Eike pakai gincu dulu, Neeek!”
“Jangan lupa sumpel! Ikikikikkk,” ledek Kanti tertawa mengikik.
“Udah! Gede. Bahenol. Hih,” sambungku sambil menggoyang-goyangkan dada yang kuganjal dengan sisa-sisa kain jahitan.
“Bohaaaay!” seru Kanti seraya menonjolkan suara serak kelaki-lakiannya.
***
Aku menelusuri jejak malam dengan lipstik merah cabai dan sumpal dada di balik kutangku. Wajahku dilapisi bedak putih setingkat lebih terang dari kulit. Alisku yang tebal tertata rapi alami berwarna hitam kecokelatan, menarik perhatian setiap lelaki yang kutemui. Hidungku bangir, berpresisi dengan bentuk bibirku yang tipis namun sadis.
Mereka bilang, aku cantik. Manis seperti nona Belanda dengan tambahan kata jadi-jadian di belakangnya. Menjadi semacam… Nona Belanda Jadi-jadian. Aku sih, tidak peduli. Bagiku, nilai adalah hal yang tak patut kupikirkan, apalagi kusembah.
Dalam keadaan sebegini terasingnya, aku semakin merindukan anakku. Namanya Putri. Dia anak yang cerdas. Pernah suatu ketika temannya mengompol di kelas. Teman-teman yang lain malah menertawakan, namun Putri tidak. Bagi kebanyakan anak kelas 1 SD mungkin hal itu sebuah hiburan, kenangan untuk kemudian ditertawakan ketika kelak mereka berubah menjadi dewasa—pun berjiwa kekanak-kanakan, namun Putri berbeda, ia malah mengambil pel untuk mengesat kencing temannya itu. Menemaninya ke toilet, membantunya membersihkan celana pendek merah yang dikenakannya. Ya, temannya itu laki-laki, tetapi Putri tidak sedikitpun merasa risih. Baginya, semua teman adalah sama. Tak ada yang spesial. Sayangnya, gurunya malah menuduhku sebagai ayah yang telah membuat Putri menjadi binal. Melakukan tindakan asusila kepada teman lelakinya. Aneh.
Aku masih ingat, ketika Putri diomeli habis-habisan oleh Bu Guru galak yang menuduhnya telah memaksa teman lelakinya itu untuk buka celana. Padahal, Putri hanya ingin membantunya membersihkan sisa kencing, sekaligus membantu meringankan beban psikologis yang diterima anak itu ketika diolok teman-temannya.
 “Kenapa Ibu malah mengomeli saya? Kenapa Ibu nggak segera menemaninya ke toilet?” Putri bertanya pada Bu Guru dengan polosnya.
Sampai kapanpun, aku akan terus mengingat peristiwa itu. Skenario yang dilanjutkan oleh gurunya sendiri dengan drama yang memuakkan.
 “Ce! Ngelamun aja sih, Lu! Nggak ngamen?” Limo membuyarkan ingatanku yang tiba-tiba muncul. Sekaligus mengingatkanku bahwa aku butuh uang dan harus buruan ‘kerja’.
***
Sesampainya di rumah, aku membuka laptop. Melanjutkan tulisanku yang sudah kusimpan seminggu yang lalu. Membiarkannya terburai dengan waktu dan udara terlebih dulu. Sebentar saja. Kurasa, benda mati ini juga butuh udara. Butuh penyesuaian akan waktu untuk kembali hidup.
“Ayah sudah pulang?” suara parau Putri mengagetkanku.
“Lho, Sayang, kok kamu bangun?” Segera, kulepaskan wig panjang yang kujepit erat di antara rambut asli ini.
“Ayah, kenapa Ayah selalu jadi cantik kalau malam?”
“Karena… Ayah bosan menjadi ganteng melulu. Kata Putri kan, Ayah ganteng.”
“Iya, tapi kenapa jadi mirip seperti Tante Kanti, Yah?” perlahan, Putri menghapus lipstikku dengan ibu jari kecilnya.
Aku tersedak ludah sendiri. Sebenarnya, aku juga lelah dengan polesan di mukaku. Tapi, inilah satu-satunya cara agar aku tetap bisa menulis. Mencari uang, untuk kehidupan anakku satu-satunya. Untuk Putri, dan tentunya untuk Rona, mendiang istriku.
Asal kamu tahu, wahai para pembaca, aku sengaja menjadi waria agar cinta dan pikiranku untuk istri dan anakku tetap terjaga. Tak perlu tenggelam lenyap, tergantikan oleh perempuan-perempuan yang sanggup menggoda imanku. Aku ingin terus seperti ini, memahami pikiran dan rasanya menjadi orang yang berbeda lantas dibeda-bedakan. Menulisnya, menuangkannya dalam suatu artikel yang siap kukirimkan ke media massa agar dibaca banyak orang. Tak perlu tentangku yang mereka baca, tapi tentang betapa kekanak-kanakannya penduduk di negeri ini. Negeri yang dibangun dengan tumpah darah dan air mata malah berjalan dengan segala ketidakadilannya dan kesalahpahamannya.
“Ayah… Ayah melamun?”
“Sayang, Ayah nggak bisa menjawab apapun kali ini. Ayah harap, Putri mengerti tanpa perlu Ayah bercerita.”
“Tapi Putri benaran nggak ngerti, Yah.”
“Kalau begitu, nggak perlu dimengerti. Nanti juga akan ada jawabannya.”
“Ayah menyamar, ya? Seperti detektif-detektif yang ada di tv itu?”
“Ayah cuma ingin mengobrol lebih dekat dengan Tante Kanti, Om Limo, Bang Darul, dan teman-teman yang lain. Ayah ingin menceritakan apa yang mereka alami ke banyak orang. Tentang penderitaan mereka, kebahagiaan mereka, harapan, agar kehidupan mereka bisa dimengerti, Sayang.”
“Ayah orang hebat ya, Yah?” Mata Putri terlihat memancar, senang, berbinar-binar.
“Ayah adalah ayahnya Putri. Bukan orang hebat.”
“Tapi Ayah hebat! Mereka bahkan nggak tahu Ayah. Mereka bisanya cuma menghina-hina Ayah. Menangkap Ayah kalau ada razia dan ketahuan ngamen.”
Kupeluk cium anakku yang cantik ini. Kunikmati wangi rambutnya yang halus, mengingatkan aku pada Rona yang amat kucinta.
“Ayah sayang Putri,” kudekap erat Putri dalam pangkuanku.
“Putri juga sayang Ayah,” ia membalas, mengecup pipiku.
Malam ini, kuputuskan untuk membiarkan layar laptopku menyala hingga mati dengan sendirinya. Aku ingin membacakan sebuah cerita pengantar tidur untuk Putriku. Berbaring dan terlelap di sampingnya.
***
Paginya, aku kembali menjadi Remy Sunandar, kolumnis yang tak pernah diketahui tempat tinggalnya. Remy yang dikenal sebagai kolumnis paling sarkastis, yang selalu menyisipkan sinisme dalam setiap tulisannya. Pagi sampai sore hari adalah kesempatan untukku menjadi seorang bapak yang memang seharusnya. Maka, kesempatan ini tak akan pernah kubiarkan pergi.
Aku selalu memilih kontrakan Limo sebagai ruang kerjaku. Limo, tukang ojek online beranak tiga, yang ketiga anaknya beserta seorang istrinya tinggal di kampung. Di sebuah desa yang jauh dari peradaban kota. Kudengar dari Kanti, ternyata diam-diam Limo naksir kepadaku ketika aku berdandan menjadi Mice. Duh, ngeri juga, pikirku.
Tapi aku yakin, Limo dan Kanti adalah dua sahabat terbaik yang kini kumiliki. Di kontrakan Limo, aku bisa bekerja, menulis, membaca, dan meriset sampai sore. Malamnya bersama Kanti, aku bisa mendekati banyak orang yang ingin aku wawancarai atau hanya sekadar mencari informasi.
Sebagai Mice, aku bisa dengan mudah mendekati berbagai macam karakter orang dari berbagai kalangan. Memang, aku hanya seorang waria, perempuan jadi-jadian yang bekerja sebagai pengamen, sekaligus menemani lelaki yang kesepian. Tapi aku bukan waria murahan. Aku waria yang fleksibel. Jika malam ini aku hanya bisa menemani tukang becak, malam selanjutnya aku bisa saja menemani asisten seorang manajer. Bersama Kanti, aku bisa mendekati siapapun.
Tak terkecuali malam ini, di tengah remangnya cahaya lampu, seorang sopir dari (yang katanya) Habib yang cukup terkenal menghampiriku. Katanya ia mau curhat. Kuterima saja permintannya.
“Ce, aku mau curhat, nih. Tapi, kamu jangan nanya yang aneh-aneh dulu, ya,” ujar Mas Darma dengan logat jawanya.
“Iya, Mas. Mice nurut deh,” jawabku lembut seraya mengusap lembut bahunya.
“Majikanku itu lho, Ce…”
“Kenapa, Mas? Galak?”
“Galak sih, yo, wes biasa. Cuma, anu…”
“Anu apa, Mas? Mice nggak ngerti.”
“Dia… musyrik, Ce.”
Aku terkesiap, tak siap. Namun, perlahan aku menoleh. Rupa-rupanya ada yang sedang mengintai.
Tak jauh dari sini, kulihat Putri sedang mengintip dan menutup sebelah matanya dengan boneka panda. Anakku satu itu, memang sama isengnya seperti diriku.


Kamar, 20/12/2016 (pernah diikutsertakan dan terpilih dalam acara workshop menulis bersama Eka Kurniawan sebagai syarat agar dapat mengikuti workshop tersebut. Hehe.)

No comments:

Post a Comment