04/12/2018

Menjadi Bambu

Menjadi orang yang memiliki prinsip kuat dan tak mudah goyah adalah rencanaku. Aku kini berhenti berteman pada harap. Aku hanya ingin bersahabat dengan rencana-rencana dan realitas yang sekalipun menyakitkan. Aku menyukai rasa sakit. Aku kebal terhadapnya. Bagiku, rasa sakit itu seperti sahabat sejati. Ia mungkin tak selalu menemani, tapi di saat-saat yang membingungkan, ia hadir dan terus mencaplok pundakku, merengkuhku, dan menularkannya kepadaku rasa sakit yang layak kumiliki. Hingga rasa sakit bukan lagi menjadi sebuah luka yang menyakitkan karena telah terbiasa. Rasa sakit layaknya sahabat, yang tak selalu bersama dalam maya, tapi selalu menemani dalam nyata.

Aku kini berusaha menjadi bambu. Bambu yang siap dibacok dengan golok super tajam. Dengan arit yang siap membelah. Tapi bambu selalu kuat, ia tak pernah berkhianat. Ia kokoh berdiri membenamkan kaki pada prinsipnya. Meskipun tubuhnya kerap mengikuti arah angin yang menariknya, ia tak pernah kemana-mana. Ia tak pernah meninggalkan rumahnya, ia tak pernah meninggalkan pondok kecilnya. Ia terus hidup, meskipun setengah raganya dibacok, dibelah, dan diseret.

Aku mencoba untuk tidak terlalu mempedulikan hal-hal yang bisa merusak rasa sakit yang sedang kunikmati.

Aku membiarkan angin menggerakkan tubuhku ke sana dan ke mari, hingga aku lupa pada kehidupan yang hanya memberikan harapan tapi juga memusnahkannya sekaligus.

Aku sengaja memejamkan mata untuk menikmati setiap sayatan yang kuterima, hingga mengucurkan darah yang kujilat sebagai sirup merah dengan rasa manis yang belum tentu orang lain punya.

Aku menjadi terbiasa dan pada akhirnya menikmati setiap luka sebagai tanda kebahagiaan yang fana dan kembali memagut, mencatut, memungut kenangan-kenangan lama dalam imajinasi yang jarang kujamah. Selain pada waktu. Waktu yang membuatku iri pada setiap kehidupan lain yang dengan pongahnya menawarkan tawa di luar akal sehat, dengan akhir limbung di depan barak api yang membara.

Aku menang. Menang atas kekalahanku sendiri.


-dalam pikiran yang menerawang entah ke mana, namun dirinya selalu ada

menghampiriku.

No comments:

Post a Comment