31/01/2019

Jatuh Hati dengan Kamera Instax


Sudah lebih dari satu minggu aku menutup diri dari instagram. Sudah lebih dari satu bulan pula aku mengasingkan diri dari foto digital. Aku rasa, diriku menjadi lebih tenang. Aku bisa lebih berdamai dengan segala prasangka. Aku juga semakin mahir mengontrol ketidakpuasanku terhadap hasil. Kupikir, hidup dengan dunia yang serba sulit dan tak memudahkan itu terasa lebih asyik. Aku pun juga lebih mudah bersyukur dan memiliki waktu lebih banyak untuk menikmati hidup. Hidup yang begitu dekat dengan kematian. Sesungguhnya.

Pacarku menghadiahiku kamera instax di usiaku yang ke-27. Usia yang kerap dijadikan patokan sebagai keberuntungan apabila kamu mati di usia ini. Sebab, sudah ada beberapa orang terkenal yang mati di usia 27. Begitu pula yang pernah diharapkan pacarku untuk kematiannya. Kalau aku sih, aku tak pernah peduli pada usia berapakah aku akan mati. Bagiku, kematian hanyalah hal biasa yang tak perlu diistimewakan. Tak perlu ditakuti. Tak perlu dirisaukan. Biar saja ia datang sesuai kehendakNya.

Omong-omong, aku sedang jatuh hati pada benda yang akhir-akhir ini hampir selalu membuat jantungku berdebar dan otakku terus berputar. Tenang saja, aku tak perlu menjadi musryik. Sebab, aku tak pernah memujanya. Aku hanya memuji, hanya menikmati. Terlebih, hasil yang tak pernah sesuai dengan ekspektasi. Hasil yang selalu membuat bibirku mesem-mesem sendiri. Belum lagi dengan proses yang hampir selalu membuatku berimajinasi dan terus-terusan berfantasi.

Yap, aku jatuh hati dengan kamera instax pemberiannya. Rasa-rasanya, aku pun lebih menyayangi kamera ini ketimbang kamera digitalku yang dulu. Sebab, aku tak perlu repot-repot dan menunda-nunda waktu untuk mencetaknya. Lagipula, aku pun tak perlu melakukan retouch atau mengeluarkan ekspektasi yang besar untuk hasilnya. Barangkali, aku pun lebih senang menggunakannya juga karena aku tak perlu menghabiskan waktu hanya untuk mengulang-ulang jepretan kamera, apalagi ketika melihat hasilnya di layar dengan hasil yang tak memuaskan dan terus-terusan memaksa diri memotret objek yang sama lagi dan lagi dan lagi dan lagi. Yang biasanya dilakukan demi reputasi dan segala puja dan puji dari orang-orang yang lihai mengkritik hasil karya dan kreasi. Ah, sungguh membosankan!

Selain itu, aku juga bisa belajar mengingat dan memahami tentang pencahayaan dalam fotografi. Waktuku untuk menikmati suasana sambil menontoni lalu lalang orang-orang asing yang selalu memberiku kejutan pun semakin banyak dan berkualitas. Aku pun juga bisa meningkatkan kuantitas bersyukurku, sebab aku tak perlu terus-terusan merasa tak puas atas proses yang kujalani, dan mengulang-ulang proses memotretku. Soalnya harga kertas filmnya sangat mahal. Bagiku, barangkali seperti inilah analogi yang sering diucapkan orang-orang, "Waktu itu sungguh mahal. Sehat itu mahal. Dan mahal-mahal yang lain." Hahaha!

Aku bisa mengontrol diriku sendiri. Aku berhasil.

Bukan berarti aku tak ingin menggunakan kamera digitalku lagi, sih. Akan tetapi, untuk beberapa waktu ini dan entah sampai kapan, aku akan terus menggunakan kamera instaxku untuk memotret. Aku akan menggunakannya sebagai salah satu cara menenangkan hati dan pikiran, serta obat untuk mengontrol diri sendiri.

Kupikir betapa tak enaknya jika kita tak sanggup mengontrol diri sendiri dan hidup di bawah kendali orang lain yang sungguh memuakkan.


NB: Norak, ya? Biarin. :p

*Tentang:
Fujifilm Instax Mini Neo 90 Brown


Kemang,
Januari 2019

No comments:

Post a Comment