Sudah lebih dari
satu minggu aku menutup diri dari instagram. Sudah lebih dari satu bulan pula
aku mengasingkan diri dari foto digital. Aku rasa, diriku menjadi lebih tenang.
Aku bisa lebih berdamai dengan segala prasangka. Aku juga semakin mahir mengontrol
ketidakpuasanku terhadap hasil. Kupikir, hidup dengan dunia yang serba sulit
dan tak memudahkan itu terasa lebih asyik. Aku pun juga lebih mudah bersyukur
dan memiliki waktu lebih banyak untuk menikmati hidup. Hidup yang begitu dekat
dengan kematian. Sesungguhnya.
Pacarku
menghadiahiku kamera instax di usiaku yang ke-27. Usia yang kerap
dijadikan patokan sebagai keberuntungan apabila kamu mati di usia ini. Sebab,
sudah ada beberapa orang terkenal yang mati di usia 27. Begitu pula yang pernah
diharapkan pacarku untuk kematiannya. Kalau aku sih, aku tak pernah peduli pada
usia berapakah aku akan mati. Bagiku, kematian hanyalah hal biasa yang tak
perlu diistimewakan. Tak perlu ditakuti. Tak perlu dirisaukan. Biar saja ia
datang sesuai kehendakNya.
Omong-omong, aku
sedang jatuh hati pada benda yang akhir-akhir ini hampir selalu membuat
jantungku berdebar dan otakku terus berputar. Tenang saja, aku tak perlu
menjadi musryik. Sebab, aku tak pernah memujanya. Aku hanya memuji, hanya
menikmati. Terlebih, hasil yang tak pernah sesuai dengan ekspektasi. Hasil yang
selalu membuat bibirku mesem-mesem sendiri. Belum lagi dengan proses yang
hampir selalu membuatku berimajinasi dan terus-terusan berfantasi.
Yap, aku jatuh hati
dengan kamera instax pemberiannya. Rasa-rasanya, aku pun lebih
menyayangi kamera ini ketimbang kamera digitalku yang dulu. Sebab, aku tak
perlu repot-repot dan menunda-nunda waktu untuk mencetaknya. Lagipula, aku pun
tak perlu melakukan retouch atau mengeluarkan ekspektasi yang besar untuk
hasilnya. Barangkali, aku pun lebih senang menggunakannya juga karena aku tak
perlu menghabiskan waktu hanya untuk mengulang-ulang jepretan kamera, apalagi
ketika melihat hasilnya di layar dengan hasil yang tak memuaskan dan
terus-terusan memaksa diri memotret objek yang sama lagi dan lagi dan lagi dan
lagi. Yang biasanya dilakukan demi reputasi dan segala puja dan puji dari
orang-orang yang lihai mengkritik hasil karya dan kreasi. Ah, sungguh
membosankan!
Selain itu, aku juga bisa belajar mengingat dan memahami tentang pencahayaan dalam fotografi. Waktuku
untuk menikmati suasana sambil menontoni lalu lalang orang-orang asing yang
selalu memberiku kejutan pun semakin banyak dan berkualitas. Aku pun juga bisa
meningkatkan kuantitas bersyukurku, sebab aku tak perlu terus-terusan merasa tak
puas atas proses yang kujalani, dan mengulang-ulang proses memotretku. Soalnya harga kertas filmnya sangat mahal. Bagiku, barangkali seperti inilah analogi yang
sering diucapkan orang-orang, "Waktu itu sungguh mahal. Sehat itu mahal.
Dan mahal-mahal yang lain." Hahaha!
Aku bisa mengontrol
diriku sendiri. Aku berhasil.
Bukan berarti aku
tak ingin menggunakan kamera digitalku lagi, sih. Akan tetapi, untuk beberapa
waktu ini dan entah sampai kapan, aku akan terus menggunakan kamera instaxku untuk memotret. Aku akan menggunakannya sebagai salah satu cara menenangkan hati dan pikiran,
serta obat untuk mengontrol diri sendiri.
Kupikir
betapa tak enaknya jika kita tak sanggup mengontrol diri sendiri dan hidup di
bawah kendali orang lain yang sungguh memuakkan.
NB: Norak, ya? Biarin. :p
*Tentang:
Fujifilm Instax Mini Neo 90 Brown
Kemang,
Januari 2019
No comments:
Post a Comment