20/08/2019

Menjadi Bodhi

Ada beberapa kesamaan antara Bodhi dan aku.

Pertama, kami sama-sama sebatang kara. Ya, meskipun aku masih punya bapak dan kakak, namun rasanya seperti sendiri. Aku bertemu bapak hanya ketika ia pulang bekerja, sementara kakakku pergi dengan kebahagiaannya sendiri dimabuk cinta.

Kedua, Bodhi dan aku sama-sama sangat peka terhadap apapun. Jika Bodhi bisa melihat kuman-kuman mikroorganisme yang semestinya tak bisa dilihat oleh mata telanjang, aku bisa melihat sekelebat bulu burung super tipis yang jatuh di kejauhan, aku juga bisa melihat sekilas bayang tikus mungil yang berlalu di kolong meja, dan aku juga bisa mendengar suara-suara cecurut mini yang sedang asyik berbincang dengan sekawanannya. Barangkali, jika sekumpulan curut itu ngobrol sambil merokok dan minum kopi pun, rasanya aku bisa memahami apa yang sedang mereka musyawarahkan.

Ketiga, apabila Bodhi tak ingin terlalu lama hidup tapi tak perlu juga buru-buru mati, disebabkan ia merasa lelah mencari kesejatian, penyebabku yang utama justru adalah orang-orang terdekatku yang mendadak berubah dan menghilang. Kupikir, bagaimana bisa orang terdekat menjadi sebegitu risau jika aku menghampirinya dan berada lekat di sampingnya?

Keempat, Bodhi dan aku sama-sama bisa merasakan sesuatu tanpa diminta. "Ia" datang begitu saja sesuka hati. "Ia" kerap membuat otak menjadi gila padahal diri ini sudah terbiasa menjadi waras. "Ia" juga muncul sekonyong-konyong hanya untuk memberitahu hal-hal yang tak ingin kami tahu. "Ia" tegar menjadikan apa yang tadinya tak kami kenal, lantas menjelmakan diri menjadi bayi yang baru saja kami lahirkan. Begitu dekat dan akrab.

Kelima, kami sama-sama berpura-pura tak tahu diri dengan menumpang hidup ke sebanyak mungkin orang. Orang-orang yang berbeda tentunya. Orang-orang yang awalnya tak kami kenal dengan baik.

Keenam, Bodhi dan aku sama-sama lelah dengan kelainan kami.

Maka dengan ini, aku menyatakan tak ingin menjadi seseorang yang berbeda. Jangan pernah lagi menyebutku sebagai perempuan yang berbeda dari perempuan yang lainnya. Mengutip kata Rayi dalam bio instagramnya beberapa saat yang lalu, "Biasa". Meskipun aku tahu dia itu luar biasa. Aku pun ingin menjadi seorang biasa yang bisa hidup normal, bahkan kalau perlu, seperti kata Bodhi, "sebisa mungkin tidak berpikir".

Ah, ditinggal ibuku pergi membuatku sadar, bahwa tak ada satupun manusia lain yang dapat memahamiku, atau setidaknya mau mengingatku dengan segala ketulusannya. Bisa dibilang, manusia-manusia yang sedang berhubungan denganku saat ini cuma mampir. Mereka bisa menyayangiku saat ini dan bisa mempedulikanku detik ini, tapi pada detik berikutnya mereka bisa berubah menjadi binatang yang sangat liar. Didekati ogah-ogahan, apalagi diajak berkawan.

Memang, keberuntungan setiap orang itu berbeda. Maka, kau tak perlu mangkir dari sebutan "untung atau beruntung". Tak semua yang kau dapat saat ini adalah hasil dari usaha sekeras batu, bisa saja karena keberuntungan yang kau punya. Seperti Bodhi, ialah satu dari "bangsat yang beruntung", kata Bong. Sebab, Bodhi bisa tak jadi mampus, padahal gudang tempatnya siaran untuk memutar lagu-lagu punk rusak terbakar hangus.

Tapi, Bodhi tak perlu selamanya berkecut hati, sebab Fadil dan Nabil, kembar kaya yang bersedia menyuntikkan dana untuk punk in the heart mereka malah menyediakan tempat baru untuknya siaran. Ditambah pula bonus tumpukan CD dari Midnight Oil, Fugazi, The Clash, Citizen Fish, Black Flag, dan Chumbawamba sebelum gabung dengan EMI, begitulah ungkap Dee si penulis cerita.

Sementara aku? Aku juga telah menjelma satu di antara "bangsat yang beruntung". Sebab aku tahan banting. Meskipun terkadang doyan kabur. Tapi tak apalah. Ketimbang terburu-buru mati hanya karena perasaan yang kerap menjadi pilu dan menyumbat hidung padahal tidak flu.

Ah, mari bergegas!

*tentang: Supernova Akar karya Dee Lestari



Kemang,
Agustus 2019

No comments:

Post a Comment