16/11/2018

Teman-Temannya Menjadi Teman-Temanku

Subuh kali ini sungguh berbeda dari biasanya. Tak ada kantuk yang membuat kusut. Tak ada malas yang membuatku lemas. Aku merasa begitu bergairah menghadapi pagi yang bahkan belum memunculkan sinar mentarinya ke bumi. Segera, seperti biasanya, aku selalu mengecek ponselku. Ah, kebiasaan ini rasanya sangat ingin kuhilangkan. Aku rindu dengan pagi yang membawaku pada dunia khayali yang meliarkan segala imaji yang kucipta. Sayangnya, semenjak aku terkena candu ponsel dan informasi dari dunia maya, hidupku tak lagi seliar itu. Aku menjadi jinak pada notifikasi di layar ponsel yang kerap kucari-cari jikalau tak ada. Lalu, kalaupun ada, aku malah merasa telah bertransformasi menjadi robot yang sengaja diprogram hanya untuk menanti munculnya notifikasi di monitor ponselku. Seperti yang terjadi pada subuh ini.

Kulihat ada gambar bulatan kecil dengan ilustrasi telepon di dalamnya pada layar ponselku. Juga tertera namanya. Si pengirim pesan yang sedari malam kutunggu-tunggu kabar baiknya. Kubaca pesan itu sambil membersit senyum. Tak mau menghabiskan banyak waktu, aku bersiap membersihkan diri alias mandi pada pukul 5 pagi. Hal yang sangat jarang kulakukan, kecuali jika ada kebutuhan yang mengharuskanku melakukannya. Itupun biasanya beberapa bulan sekali saja. Sebab, aku pun malas melakukannya kalau nggak penting-penting amat. Oh iya, salah satu hobiku adalah tidur. Jadi, aku termasuk dalam golongan manusia yang tak rela jika waktu tidurku harus direlakan hanya untuk mandi di pagi hari. Yah, meskipun aku benci bila digolong-golongkan.

Setelah mandi dan membalutkan handuk di dada sampai paha, aku bergegas meraih ponsel untuk menghubungi lelaki itu sembari berpakaian. Setelah kuhubungi beberapa kali, tak ada sapaan di seberang sana. Ia masih tertidur di kantornya. Benar saja, sekitar 4 menit kemudian, lelaki itu terbangun lantas mengirimkan pesan singkat kepadaku. Ia berkata bahwa dirinya sedang bersiap menjemputku di tempat yang kami janjikan.

Sejenak, aku kembali mematut diri di depan cermin yang cukup besar. Aku mengenakan kaos rajut berlengan panjang berwarna mustar sebagai dalaman, warna yang sedang digandrungi remaja-dewasa yang aktif di media sosial, yang gemar memamerkan swafotonya. Kemudian, kutumpuk kaosku itu dengan dress hitam maxi tumpuk ala bohemian yang menjadi favoritku. Gaun panjang pertama yang kumiliki. Selanjutnya, kuwajibkan pula diriku berdandan dengan gincu dan bedak yang ala kadarnya. Aku tak suka terlihat menor dengan makeup yang terasa palsu dan memualkan. Tema dandanku ini adalah no makeup makeup kalau kata anak zaman sekarang. Aku saja tertawa ketika melafalkan istilah itu. Bisa-bisanya ya, ada istilah yang menggunakan pengulangan kata yang sama namun ditambahkan kata "no" atau "tidak" di depannya. Hah! Tingkah manusia zaman kini memang semakin membuatku tertawa!

Pukul 6 pagi, aku berangkat ke suatu tempat yang kami janjikan untuk bertemu. Udara pagi itu begitu sejuknya sampai-sampai aku terus tersenyum dibuatnya. Mungkin senyumku muncul bukan karena udara yang cukup dingin, melainkan intuisiku pada hari yang akan membuatku merasa senang. Hah, intuisi. Sudah lama juga aku tak mempedulikannya. Maafkan aku. Sesampainya di tempat kami janjian, aku melihatnya sedang duduk di atas jok motornya sambil terus menatap layar ponselnya. Kebiasaan yang sudah sangat aku mafhum. Ia terlihat sedikit gusar dan terkesan tak nyaman dengan duduknya. Lalu, aku menyapanya dengan sapaan yang super pendek dan segera duduk di jok belakang motornya. Melajulah kami ke suatu tempat lain yang kemudian mempertemukan kami dengan beberapa orang lainnya. Orang-orang itu adalah sekelompok kawan baik lelaki itu semasa SMA. Ah ya, lelaki itu lebih senang menyebutnya STM. Mungkin agar terkesan lebih laki-laki. Aku sebagai seorang introvert yang gak sanggup berbasa-basi hanya bisa menawarkan tanganku sembari mengucapkan nama untuk berkenalan dengan mereka. Merekapun membalas jabatan tanganku sambil memperkenalkan namanya juga. Setelah itu, aku kembali diam. Menikmati obrolannya sembari menelusuri jalan yang membawa kami ke suatu tempat lain lagi yang katanya menjanjikan kebahagiaan. Bukan katanya siapa-siapa sih, tapi kata hatiku. Dan aku mempercayainya.

Selama perjalanan, aku hanya bisa terdiam sambil sesekali ikut tertawa. Menertawakan lawakan lelaki itu dan teman-temannya. Aku memang seorang yang nggak bisa ikut nimbrung dalam suatu obrolan, yang apalagi berisikan lebih dari tiga orang. Meskipun aku tetap ikut menikmati keakraban itu. Kuharap mereka mengerti, dan nggak menganggapku sebagai orang yang tak senang bergabung. Jadi, kunikmati saja perjalanan jauh ini dengan mendengarkan bebunyian yang beragam. Bebunyian yang terasa harmonis, yang berasal dari campuran suara lelaki itu, suara tawa teman-temannya, juga suara lagu dari radio mobil yang sesekali mengajakku ke masa lalu.

Hampir tiga jam berlalu dan aku terlena dalam perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami tiba di tempat yang menjadi tujuan kami itu. Aku berkenalan dengan kawan-kawan baiknya yang lain. Sesama teman STM-nya. Beberapa yang sudah kukenal mengajakku berbicara. Aku menanggapinya dengan secukupnya dan sedikit bercanda. Sungguh, perasaan riang semacam ini sudah terlalu lama kurindukan. Aku senang sekali berada di tengah-tengah orang asing yang nyatanya tak membuatku merasa terasing. Aku sebenarnya senang menyapa orang baru, tapi aku tak terlalu suka dengan obrolan yang singkat atau basa-basi yang menyebalkan. Aku senang bertukar pikiran dengan orang yang baru kukenal tapi berlanjut panjang. Bukan yang hanya kenal di waktu ini, lalu lupa beberapa jam kemudian. Aku sangat menyukai pertemuan. Aku sangat menyenangi perbincangan. Aku sangat mengagumi orang-orang yang hidup dalam realitas kehidupan dan bukan hanya angan-angan yang memuakkan. Semoga mereka memahami diamku di hadapan mereka. Lagi-lagi aku merapal doa yang sama di dalam hati.

Saat bersama mereka, entah mengapa aku merasa seperti sedang berbincang dan berkumpul dengan teman-temanku sendiri di masa lalu. Terasa begitu dekat meskipun kami sebenarnya jauh. Aku sangat menyukai teman-teman STM lelaki itu yang terasa sangat bersahabat, ketimbang teman-temannya yang lain. Persahabatan mereka membuatku bahagia. Persahabatan mereka membuatku merasa diterima. Persahabatan mereka membuatku percaya, bahwa hari itu bukanlah satu-satunya hari yang sangat menyenangkan bagiku. Akan tetapi, akan ada banyak hari yang kerap kulalui bersama mereka kelak. Ah, angan-angan, semoga pikiran itu bukan sekadar menjadi angan-angan.

Sejenak, aku teringat pertanyaan dari salah satu di antara mereka, "Jadi, kapan kita naik lagi?".

Anehnya, pertanyaan itu hampir keluar berbarengan dengan pertanyaan yang sama, yang sempat mampir di otakku. Merasa sudah diwakilkan, aku menahan pertanyaanku yang satu itu.


Selamat berbahagia, Apank dan Iyas!

No comments:

Post a Comment