06/06/2018

Review: 24 Jam Bersama Gaspar - Sabda Armandio Alif



"Ingat, Sahabat, tiada yang lebih berbahaya selain cerita yang memaksamu percaya bahwa kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, sebab ia akan membuatmu tumpul dan zalim." 

Kalimat itu merupakan sederet pesan seorang pengelana Arab yang ditemui Arthur Harahap di pelataran Masjid Gberia Fotombu, Sierra Leone, Afrika Barat. Arthur menulisakannya di pengantar novel ini. Lalu, siapakah Arthur Harahap? Dan, apakah kebaikan dan kejahatan seperti yang dipesankan oleh pengelana Arab itu ada hubungannya dengan isi novel ini?

Sedikit cerita, saya mendapatkan buku ini ketika diberi kepercayaan oleh mantan atasan saya untuk membeli beberapa buku bacaan untuk peserta Kelas Penulisan Cerita Anak 2017 oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sayapun meminta izin alih-alih minta dibelikan satu buku sebagai kenangan, dan inilah bukunya.

Novel 24 Jam Bersama Gaspar (Sebuah Cerita Detektif) karya Sabda Armandio Alif ini menyabet penghargaan sebagai pemenang unggulan dalam Sayembara Manuskrip Novel DKJ 2016 silam. Novel ini diterbitkan oleh Buku Mojok satu tahun kemudian, dengan penyunting Fahri Salam (yang juga berprofesi sebagai editor Tirto.id) dan Arlian Buana.

Menjawab pertanyaan pertama yang tadi saya tulis tentang siapakah Arthur Harahap, ternyata dia adalah seseorang yang seakan ada atau dibuat ada oleh Dio, sapaan akrab Sabda Armandio, sebagaimana yang saya kutip dari wawancaranya bersama Vice. Menurut pengakuannya juga, nama Arthur Harahap diambil dari gabungan dua nama tokoh favoritnya.

Awalnya, saya sempat penasaran dengan nama Arthur Harahap yang mengingatkan saya kepada Abdullah Harahap si penulis cerita horor tahun 70-80an, dan Arthur Conan Doyle pengarang Sherlock Holmes yang berkisah tentang petualangan seorang detektif. Kemudian, saya memutuskan untuk googling namanya dan mendapatkan artikel dari Vice tersebut. Saya kira, bisa jadi kedua penulis itulah dua tokoh favorit yang dimaksudkan oleh Dio. Mengingat isi novel ini tak jauh-jauh dari kisah detektif dan hal-hal yang berbau kefanatikan penganut sebuah agama.

Beberapa tokoh dalam novel ini adalah Gaspar (sang tokoh utama), Cortazar (motor Gaspar yang memiliki kesadaran), dan beberapa kawan sepencurian yakni Agnes atau Afif, sepasang Njet dan Kik, serta Pongo alias Yadi, dan Pingi alias Bu Tati. Dalam cerita ini, mereka berencana melakukan aksi kejahatan, yaitu merampok toko emas Wan Ali si pemilik kotak hitam yang merupakan tokoh antagonis yang sebenarnya. Ia bersembunyi di balik jubah keagamaan, seorang Arab yang biasanya terkesan taat beragama, alegori dari kebaikan.

Novel 24 Jam Bersama Gaspar ini berkisah tentang Gaspar yang seakan terpengaruh dongeng Babaji, pengasuhnya semasa kecil ketika orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Babaji memberikannya novel detektif yang mulai rajin dibacanya dan merasuki otak Gaspar.

Sekaligus menjawab pertanyaan kedua, Gaspar dalam novel ini mempertanyakan apa makna baik dan jahat yang sesungguhnya? Sebagaimana yang sering ia temui di novel-novel bertema detektif, dengan pesan moral bahwa "di setiap kota yang berisikan orang-orang jahat, masih ada orang-orang baik di dalamnya." Lantas, Gaspar malah menghancurkan pesan moral itu dengan tetap melaksanakan aksi kejahatan demi menguak kejahatan yang sebenarnya. Kejahatan yang disembunyikan Wan Ali atas anak kandungnya sendiri yang juga merupakan sahabat kecil Gaspar.

Oh iya, secuil cerita tentang Cortazar, motor Kawasaki Binter Merzy kelahiran 1976 milik Gaspar itu bukanlah motor biasa seperti pada umumnya. Seolah memiliki nyawa, Cortazar punya kesadaran dan kehendaknya sendiri. Misalnya saja, ketika Gaspar mengendarainya dan ingin berbelok ke kiri, dengan pedenya Cortazar malah belok ke kanan. Banyak orang percaya bahwa Cortazar dirasuki Jin Citah yang memiliki kekuatan untuk menghabisi seseorang, sebab Cortazar pernah membuat pemilik aslinya mati. Sejak saat itu tak ada seorangpun yang berani mengendarai Cortazar kecuali Gaspar, seseorang yang tak takut akan mati.

Tentang cara penulisannya, novel setebal 228 halaman ini amat sangat deskriptif dan cukup sering filosofis. Bahkan dari dialognya yang kaya akan deskripsi dan narasi yang jujur saja, kadang malah membuat saya bingung sebagai pembaca. Untuk penutupnya, menurut opini pribadi saya, jalan cerita di akhir novel ini seperti terburu-buru ingin diselesaikan oleh penulis. Maksudnya, penulis seolah tak punya waktu dan ruang lagi untuk menulis kelanjutan atau epilog secara klimaks yang sanggup membuat pembaca tercengang.

Novel ini beberapa kali menyebut nama Soeharto, dan pernah menyebut nama Adolf Hitler, juga Adnan Oktar sang kreasionis Islam. Beberapa kali Dio juga menyinggung soal penjarahan toko-toko di masa Orde Baru. Agaknya, Dio amat geram dengan kefanatikan orang-orang yang menganut sebuah aliran agama. Mengingat beberapa kali pula ia memasukkan hal-hal atau unsur yang berhubungan dengan agama Islam, Kristen, dan YHWH.

Oh iya, ada satu kata yang cukup mengganggu ketika saya mulai menikmati bacaan, yaitu kata meletuk yang seringkali muncul. Meletuk adalah tiruan bunyi ketukan dengan menggunakan lidah yang dilipat dan diketukkan ke langit-langit mulut. Dalam cerita ini, meletuk adalah kebiasaan dan penanda jelas karakter si Gaspar yang ternyata adalah seorang Budi Alazon.

Secara sadar, buku ini saya beri nilai 3 dari 5, dengan  pujian cukup menyenangkan dan akhir yang hampir tak terduga.

Akhirnya, Gaspar bisa membuktikan, bahwa menghentikan atau menghancurkan sebuah kejahatan tidak melulu harus melalui kebaikan yang bisa saja hanya digunakan sebagai topeng. Tetapi, kejujuran manusia, kejujuran pikiran manusia yang sering terhalang pesan moral, pikiran-pikiran manusia yang sesungguhnya ingin menghantam kejahatan bisa juga digunakan untuk memusnahkan kejahatan itu sendiri.



*mengambil tulisan di tato Budi Alazon dalam 24 Jam Bersama Gaspar,

salam, "kwakwakwakwa~"!

No comments:

Post a Comment